Minggu, 27 Mei 2012

ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF A. Aliran Tasawuf Sunni Tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah danhakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf as-shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diridari semua hal yang dapat menggangu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Alirantasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada Allah, dzikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi. Dari awal prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan ketegangan-ketegangan dikalangan sufi,baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama’ zahir baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usaha-usaha untuk mengmbalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan Ghozali, yang kemudian melahirkan Tasawuf Sunni. Ada pendapat yang mengatakan bahwa asketisme (zuhud) itu adalah cikal bakal timbulnya tasawuf.Sedangkan asketisme itu sendiri sumbernya adalah ajaran Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur’an,sunnah maupun kehidupan sahabat nabi. Pengertian umum dari Zuhud sendiri adalah Zuhhaad, jamak dari zahid. Zahid diambil dari Zuhd yang artinya ”tidak ingin”. Tidak “demam” kepada dunia, keemegahan, harta benda dan pangkat. MenurutAbu Yazid Busthami ketika ditanya orang apa arti zuhud itu, beliau menjawab: tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai apa-apa. Gerakan asketisme itu sendiri dapat dibedakan menjadi 4 aliran utama; 1. Aliran Bashroh Aliran Bashroh mulai Nampak pada abad kedua Hijriyah. Aliran ini muncul dengan ciri khasnya yaitu, sikap asketisme yang sangat kuat dan lebih ekstrim serta mengembangkan sikap yang amat takut terhadap murka Allah, serta amat sangat takut terhadap siksa di akhirat. Pada periode inilah, mulai meluas dan berkembangnya sufisme. Artinya konsep-konsep yang tadinya semata-mata sebagai sikap hidup saja kemudian disusun sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Tokoh terpenting dari aliran ini.Antara lain; Malik Ibnu Dinar dan Hassan Al-Bashri. 2. Aliran Madinah Sejak masa permulaan Islam, di Madinah sudah terlihat kelompok-kelompok asketis yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan menempatkan rosulullah sebagai idola kezuhudan mereka. Ciri yang paling utama di aliran ini adalah kekuatan dan kekhusyu’an beribadah kepada Allah, konsekuen serta kensisten dalam sikap walaupun dating berbagai godaan. Bagi mereka yangterpenting bagi mereka adalah mendepatkan diri kepada Allah serta menjauhkan diri dari segala halyang dapat mengurangi kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Tokohnya yang terkenal diantaranyaadalah Salman Al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud. 3. Aliran Kuffah Apabila kedua aliran diatas lebih mengarahkan perhatian kepada ibadah dan menghindari pengaruh-pengaruh yang merusak. Maka, aliran Kuffah lebih bercorak idealis. Gemar kepada hal-hal yangbersifat imajinatif yang biasanya dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahamiketetapan dan sedikit cenderung kepada aliran syi’ah. Namun, secara keseluruhan aliran ini masih berpola Ahlu sunnah wal jama’ah. Ciri khas aliran ini yaitu rasa keagamaan yang kental, asketisme yang keras, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Tokohnya yang terkenal yaitu, Shufyan Al-Tsauri. 4. Aliran Mesir Aliran mesir memiliki kesamaan cirri dengan aliran madinah. Sebab aliran ini sebenarnya adalah perluasan dari aliran madinah yang tersebar melalui sahabat yang ikut serta ke Mesir pada saat Islam memasuki kawasan itu. Tokohnya adalah Dzuu al-Nun al mishri. Sulit dipastikan kapan asketisme itu beralih ke sufisme, tetapi yang pasti sufisme yang awal adalah sufisme yang konsisten dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Karena itu tasawuf tipe awal ini dapat diterima sebagian besar ulama terutama ulama ahlu sunnah wal jama’ah. Hal ini pula yang menyebabkan penamaan tasawuf sunni. Dari aliran-aliran diatas dapat dilihat bahwa tokoh-tokohaliran-aliran tersebut adalah ahlu zuhud. Namun tidak setiap yang zuhud bias disebut sufi, tapisebaliknya tidak mungkin menjadi sufi tanpa melalui zuhud atau asketisme. B. Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni Munculnya aliran-aliran tasawuf ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Begitu juga sama halnya dengan Tasawuf sunni. Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran-aliran tasawuf sunni dengan antara lain sebagai berikut: 1. Hasan al-Basri Hasan al-Basri Adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetapdi sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Garakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’. Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dr. Muh. Mustofa Helmi, guru besar filsafat Islam dalam“Fuad I University” mengatakan kemungkinan bahwasanya zuhud Hasan al-Bashri yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksa Tuhan dalam neraka. Hasan al-bashri mengumpamakan dunia ini seperti ular terasa mulus kalau disentuh tangan tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh karena itu, dunia ini harus dijauhi serta kenikmatan hidup duniawi harus ditolak. Dasar-dasar ajaranzuhud ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh tasawuf yang datang kemudian dengan beberapa perbedaan sesuai dengan pengalaman serta kemampuan pribadi para sufi itu sendiri. Diantaranya ada yang memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, tekun beribadah, berdzikir, merenungkankebesaran tuhan, mencari kelemahan diri, memikirkan dan memperhatikan keindahan alam semesta.Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksaAllah karena berbuat dosa dan sering melalakikan perintahNya. Serta menyadari kekurangsempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan dating yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi. Hasan al-Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut atau khouf itu sama dengan memetik amal sholeh. Katanya tidak seorang manusiapun yang tidak pernah merasa takut dan keluh kesah. Kesimpulan dari ajaran Hasan al-Bashri ialah zuhud atau menjauhi kehidupan duniawi sehingga perhatian terpusat pada kehidupan dunia akhirat dan mawas diri dan selalu memikirkan kehidupan ukhrowi adalah jalan yang akan menyampaikan seseorang kepada kebahagiaan yang abadi. Hasan al-Basri merupakan pribadi yang cemerlang dan suri tauladan yang benar bagi akhlak luhur,setelah dalam kesucian dan kejernihannya. Beliau selalu menyiarkan kemuliaan yang tinggi dengan petuahnya yang berpengaruh dan ucapannya yang mantap, serta suluk-nya yang dijadikan sebagai contoh. Meskipun begitu, Hasan al-Basri bukanlah seorang sufi, dalam arti yang tepat pada kata shufi. 2. Rabiah Al-Adawiyah Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al Adawiyah al Bashoriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H, disebut rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal Al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana. Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah dan bahkan menurut menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair-syair berikut ini dapat diungkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah: Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau, Namun mata hatiku memandang-Mu selalu. Cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia mambagicintanya untuk yang lainnya. Seperti kata-katanya “Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia”. Bahkan sewaktu ia ditanyai tentang cintanya kepad Rasulullah SAW, ia menjawab: “Sebenarnya aku sangat mencintai Rasulullah, namun kecintaanku pada al-Khaliq telahmelupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia”. Pernyataan ini dipertegas lagi olehnya lagimealui syair berikut ini: “Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, Sirna segalanya selain Dia,Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka”.Bisa dikatakan, dengan al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rabi’ah al-Adawiyah berkeluh-kesah sakit. Dan beberapa sufi menjenguknya, dan Rabiah mengira bahwa sakitnya itu dikarenakan ghirahatau kecemburuan Allah kepadanya, karena hati Rabiah pada saat itu tertarik akan surga. 3. Dzu Al-Nun Al-Misri Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhimini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini. Namun demikian telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan tekemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad 3 Hijriah. Sebagia seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fiqih memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai salah satu hal yang menarik keduniaan disamping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitif barangkali yang menyebabkan banyak yang menentangnya. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya kepada ulamaMesir yang menuduhnya sebagai orang yang zindiq, sampai pada akhirnya dia sampai memutuskan untuk sementara waktu pergi dari negerinya dan berkelana ke negeri lain. Namun sekembalinya dari perkelanaan tersebut, orang banyak tetap menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Bahkan orang-orang menyuruhnya untuk pergi ke Baghdad menemui khalifah untuk menerima pengadilan. ALIRAN-ALIRAN TASAWUF DAN TOKOH-TOKOHNYA Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf II Dosen Pengampu: Umar Ibrahim Di susun oleh: farid hermanto PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA TAHUN 2010/2011
Riwayat Hidup Sayyid ahmad Khan disusun oleh farid hermanto aqidah filsafat Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754-1759 ) dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah sosok orang yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota kelahirannya Delhi. Di kota inilah dia gunakan waktunya dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun 1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan ( anarkis ) terhadap penduduk India. Ketika dia melihat keadaan masyarakat India kususnya Delhi, ia berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi dia sadar dan terketuk hatinya harus memperjuangkan umat Islam India agar memjadi maju, maka ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan konflik, serta mejadi penolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga di beri gelar Sir, tetapi ia menolaknya atas gelar yang di berikan tersebut. Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC ) di Aligarh yamg merupakan karya yamg paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan perkembangan dan kemajuan Islam di India. Ketika Inggris menginjakkan kakinya dan menancapkan benderanya di India, kemudian runtuhlah perbendaharaan Kerajaan Timur (diambil dari nama Timurlenk pendiri kedaulatan Mongol pada abad ke enambelas Masehi). Yang menjadi tujuan mereka adalah untuk melemahkan aqidah ummat Islam dan agar mereka (ummat Islam) menganut paham orang-orang Inggris. Tujuan yang lain adalah untuk mempersempit kehidupan ummat Islam dengan mengadakan berbagai penekanan dan paksaan-paksaan. Dengan demikian maka ummat Islam tidak akan mengenal aqidah Islam yang sebenarnya dan akan melalaikan kewajibannya. Ketika para pemerintah lalim itu gagal memanfaatkan cara pertama, mereka mempergunakan cara yang kedua. Mereka mulai merencanakan untuk menghilangkan Agama Islam dari India, sebab mereka hanya takut menghadapi kaum muslimin yang kehilangan pemimpin dan hak-hak mereka. Maka datanglah seorang bernama Sayyid Ahmad Khan (gelar bangsawan di India) mendekati penjajah Inggris untuk meraih keuntungan. Mulai dia melangkah untuk meninggalkan agamanya (Islam) dan menganut agama yang dipeluk oleh bangsa Inggris. Ia mulai menulis sebuah buku dimana ia menyatakan bahwa Taurat dan Injil tidak pernah diubah-ubah oleh tangan manusia, untuk mendapatkan pangkat dari tangan penjajah. Orang Inggris tidak percaya kepadanya sehingga ia benar-benar menyatakan bahwa dirinya adalah “seorang Kristen”. Ia sadar bahwa usahanya yang hina ini sia-sia belaka dan ia tidak mampu mengubah agama penganut Islam kecuali beberapa orang saja. Maka ia memulai cara lain dalam pengabdiannya kepada pemerintah Inggris: dengan memecah belah persatuan ummat Islam. Ia memunculkan dirinya sebagai seorang naturalis ateis dan menyatakan bahwa tak ada sesuatu apapun kecuali alam (nature) dan bahwa alam ini tidak ada Tuhan yang menciptakan, Ia menyatakan bahwa semua Nabi adalah naturalis, tidak percaya kepada Tuhan yang membuat undang-undang. Pemerintah Inggris merasa bahagia dengan usahanya itu, dan melihat bahwa cara tersebut adalah yang paling baik untuk merusak hati kaum Muslimin. Mereka menghormati dan menjunjung Ahmad Khan dan membantu dia untuk mendirikan sekolah di Alighar dengan nama sekolah “Muhammadiyin”, sebagai perangkap untuk menghimpun pemuda-pemuda Mu’min dan dididik menurut pemikiran Ahmad Khan. Ahmad Khan juga menulis sebuah tafsir Al Qur’an, dimana ia banyak mengubah maksud yang sebenarnya. Ia menerbitkan majalah bernama Tahdzibul-Akhlaq yang isinya hanya membingungkan pikiran kaum Muslimin dan memecah belah mereka serta menyalakan api permusuhan antara ummat Islam India dan yang lain, khususnya warga kerajaan Ottoman. Secara terus terang ia menghilangkan seluruh agama yang ada, namun pada hakekatnya agama Islam, Ia mengajak manusia untuk kembali ke “alam”, dengan alasan bahwa bangsa Eropa tidak akan maju peradabannya dan tidak akan memiliki ilmu pengetahuan, kerendahan hati dan kekuatan yang begitu tinggi kecuali dengan membuang agama dan kembali kepada maksud agama yang sebenarnya, yaitu menyelidiki nature (alam). Itulah pendapatnya. Sistem penafsiran Ahmad Khan terhadap Al Qur’an didasarkan atas dasar nature (alam), yang menentang adanya Mu’jizat dan hal-hal yang ada diluar kebiasaan. Maka ia menyatakan bahwa “kenabian” adalah tujuan yang dapat diperoleh dengan jalan latihan jiwa (Riyadloh Nafsiyah), tujuan tersebut adalah alami dan manusiawi, dan caranya pun manusiawi tidak luar biasa. Namun demikian ia mengakui Muhammad sebagai penutup Risalah Ilahi. Ketika menerangkan ayat tentang peperangan, ia melemahkan kewajiban jihad pada masa yang akan datang. Dan ayat yang berhubungan dengan Ahlul Kitab, ia tafsirkan bahwa tak ada jarak antara ahlul kitab dan ummat Islam. Ia mengajak kerja sama antara orang-orang Islam dan orang-orang Barat, ia mengajak kepada Humanisme Agama (yakni kemanusiaan yang dianjurkan oleh semua agama samawi). Dalam konsep tersebut tak ada perbedaan negara, bangsa, agama, dan paham. Dengan demikian Ahmad Khan memiliki jasa di bidang politik dan pendidikan disertai motivasi pembaharuan agama. (Al Bahiy, M, Dr. 1986:4-8). Sayyid Ahmad Khan yang kemudian dihujat dan dicap kafir oleh para ulama’ Makkah, beliau tidak langsung putus asa dalam memperjuangkan pendapatnya, bahkan beliau tidak menggubrisnya. Sementara menurut cendekiawan muda Muslim India, beliau diagungkan karena memiliki ide-ide yang cemerlang untuk membangkitkan ummat Islam India dari keterpurukan. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India, dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa yang terkuat di India dan menentang kekuasaan, itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindhu India. Jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk itu Ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang membawa pada pecahnya pemberontakan 1857. diantara sebab-sebab yang ia sebut adalah yang berikut: 1. Intervensi Inggris dalam soal keagamaan, seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti-panti yang diasuh oleh orang Inggris, pembentukan sekolah-sekolah misi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan-perguruan tinggi. 2. Tidak turut sertanya orang-orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, hal yang membawa kepada: •Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggris, mereka anggap Inggris datang untuk merobah agama mereka menjadi Kristen. •Pemerintah Inggris tidak mengetahui keluhan-keluhan rakyat India. •Pemerintah Inggris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India, membawa kepada akibat yang tidak baik. Atas usaha-usahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris, Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Dan sementara itu anjuran supaya jangan mengambil sikap melawan tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan Inggris untuk menjalin hubungan baik antara orang Inggris dan umat Islam. Agar umat Islam dapat ditolong dari kemundurannya, telah dapat diwujudkan dimasa hidupnya. Diantara ide-ide yang cemerlang itu adalah sebagai berikut: 1. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Disamping itu dasar ketinggian dan kekuatan barat, termasuk didalamnya Inggris, ialah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk dapat maju, ummat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diperlukan itu bukanlah kerjasama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, ummat Islam tidak memainkan peranan utama. Atas usaha-usahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris. Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Ingris terhadap ummat Islam India. Dan sementara itu kepada ummat Islam ia anjurkan supaya jangan mengambil sikap melawan, tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan inggris. Cita citanya untuk menjalani hubungan baik antara inggris dan umat islam, agar demikian ummat islam dapat di tolong dari kemunduranya ,telah dapat di wujudkan di masa hidupnya. 2. Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu. Segalanya dalam alam terjadi menurut hukum sebab akibat. Tetapi wujud semuanya tergantung pada sebab pertama (Tuhan). Kalau ada sesuatu yang putus hubungannya dengan sebab pertama, maka wujud sesuatu itu akan lenyap. 3. Sejalan dengan ide-ide diatas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist. Pendapat ulama’ di masa lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan diantara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu dapat ditinggalkan. Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berobah itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijma’ dan qiyas baginya tidak merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat absolute. Hadits juga tidak semuanya diterimanya karena ada hadits buat-buatan. Hadits dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian yang seksama tentang keasliannya. 4. Yang menjadi dasar bagi system perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan system poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri bukan suatu hukum yang wajib dilaksanakan, tetapi hanya merupakan hukum maksimal yang dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Disamping hukum potong tangan terdapat hukum penjara bagi pencuri. Perbudakan yang disebut dalam Al Qur’an hanyalah terbatas pada hari-hari pertama dari perjuangan Islam. Sesudah jatuh dan menyerahnya kota Makkah, perbudakan tidak dibolehkan lagi dalam Islam. Tujuan sebenarnya dari do’a ialah merasakan kehadiran Tuhan, dengan lain kata do’a diperlukan untuk urusan spiritual dan ketenteraman jiwa. Faham bahwa tujuan do’a adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu, ia tolak. Kebanyakan do’a, demikian ia menjelaskan, tidak pernah dikabulkan Tuhan. 5. Dalam ide politik, Sayyid Ahmad Khan, berpendapat bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara tersendiri,. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat Hindu yang lebih tinggi kemajuannya. Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada akal manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh ummat Islam pada umumnya diwaktu itu. D. Usaha-usaha yang dicapai oleh Sayyid Ahmad Khan. Sebagai telah tersebut diatas, jalan bagi ummat Islam India untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, ialah memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Dan agar yang tersebut akhir ini dapat dicapai sikap mental ummat yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirubah terlebih dahulu. Perubahan sikap mental itu ia usahakan melalui tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel-artikel dalam bentuk majalah Tahzib Al Akhlaq. Usaha melalui pendidikan juga ia tidak lupakan, bahkan pada akhirnya kedalam lapangan inilah ia curahkan perhatian dan pusatkan usahanya.Di tahun 1876 ia dirikan sekolah Inggris di Muradabad. Di tahun 1879 ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam cita-citanya untuk memajukan ummat Islam India. KESIMPULAN Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam, Sayyid Khan mengemukakan tiga langkah yang harus ditempuh : (1) bekerjasama dalam bidang politik; (2) mengambil ilmu-ilmu kebudayaan Barat; (3) menafsir ulang Islam dalam bidang pemikiran. Gagasan untuk menjalin hubungan dengan negara Inggris dan menyingkirkan penolakan kaum muslimin terhadap kemajuan Barat mulai ia perjuangkan. Sayyid khan berpendapat bahwa Al-Quran merupakan satu-satunya asas untuk memahami Islam. Hal ini ia dasarkan pada perkataan Umar Ibnu Khathab, “Cukuplah bagi kita kitabullah”. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka untuk memahami Al-Quran tidak mungkin bersandar pada Al-Quran menggunakan penafsiran kontemporer. Ia berpendapat bahwa ayat-ayat muhkamat bersifat asasi atau mengandung dasar-dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasyabbihat menerima lebih dari satu penafsiran yakni mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Perubahan terjadi setiap saat, ilmu pengetahuan dan pengalaman manusia bertambah. Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan tersebut harus terjadi perubahan pemahaman manusia terhadap ayat-ayat mutasyabbihat. Karena boleh jadi akan ada penafsiran lain yang lebih sesuai dengan ilmu pengetahuan alam manusia masa kini. Menurut Ahmad Khan, hanya Al-Quran yang menjadi asas dalam memahami agama, sedangkan hadits yang dapat dijadikan sebagai sandaran hanyalah hadits-hadits yang sesuai dengan nash dan ruh Al-Quran, yang sesuai dengan akal dan pengalaman manusia dan yang tidak bertentangan dengan hakekat sejarah. Bahkan setiap hadits yang bertalian dengan masalah dunia hanya berlaku khusus bagi kondisi dan keadaan bangsa Arab pada masa nubuwah, dan tidak mengikat bagi seluruh kaum muslimin. Tampaknya poin terpenting yang dinafikan Ahmad Khan adalah dalam menerima hadits. Ia berpendapat perkara-perkara agama bersifat tetap, sedangkan perkara-perkara dunia berubah-ubah. Sampai disini dapat disimpulkan bahwa menurut Ahmad Khan, hadits-hadits tidak diterima sebagai sumber hukum diera setelah masa kenabian. Ia pun akhirnya menyangsikan kelayakan pendapat-pendapat fuqaha dahulu untuk diterapkan pada masa sekarang. Maka pintu ijtihad terbuka untuk seluruh masalah. Menurutnya perbedaan visi dan kebebasan yang luas merupakan satu-satunya jalan untuk memajukan umat. Salah satu pendapatnya yang cukup mendapat tanggapan keras dari beberapa kalangan adalah bahwa Allah telah menciptakan dan membuat hukum-hukum, akan tetapi Allah tidak turut campur dalam hukum alam. Dari sisi cukup memperlihatkan bahwa ia menggunakan sistem nilai dari pemikiran Barat untuk memahami agama dan menafsirkan Al-Qur’an. DAFTAR PUSTAKA Al Bahiy, Muhammad, Dr. 1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. Nasution, Harun, Dr, Prof. 1990. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang. Anwar, Rosihon, Drs, M.Ag. Ilmu kalam. Untuk UIN, STAI, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia
SEJARAH FILSAFAT AGAMA disusun oleh farid hermanto aqidah filsafat IAIN SURAKARTA Sejarah Filsafat agama: Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H). Filsafat agamaIslam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya. Filsafat mendasarkan diri pada metode burhani sementara teologi pada jadalli. Filsafat agama berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan wahyu. Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius. Secara ontologis filsafat Islam menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik. Secara epistemologis filsafat agama menyakini akal, hati,indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan yang valid. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat agama. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik. Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya. Sejarah Filsafat Agama Dalam sejarah dan perkembangan Filsafat dalam teologi agama A. Filosofis Al-Kindi pada tahun (801-873). Pada masa awal Islam filsafat ini berkembang secara perlahan-lahan, hingga dapat mempengaruhi beberapa tokoh Islam pada masa itu, sebagai bukti bahwa disini mulanya filsafat agama, Al-Kindi pernah menulis sebuah buku yang berjudul (Al-Falasafah Au-l-‘Ula). B. Filosofis Al-Farabi pada Tahun (870-950). Pada masa ini Al-Farabi dikenal sebagai tokoh filosofi Islam yang mengambil teori berfilsafat dari Al-Kindi dan dikembangkan melalui karya karyanya. C. Filosofis Ibnu Sina pada tahun (980-1037). Pada masa ini Ilmu filsafat agama dikembangkan oleh Ibnu Sina menjadi berbagai demensi kedesiplinan Ilmu dalam filsafat agama, sehingga Ibnu Sina berhak mendapat julukan sebagai Filosofis Peripatetik muslim orang barat menyebutkan Par Excellennce , padahal pada masa itu Ibnu Sina baru berusia sepuluh Tahun, dan dan ia mahir dalam mendalami ilmu kedokteran disaat usianya enam belas tahun , Ibnu Sina pernah berguru kepada Al-Farabi dalam ilmu Filsafat, sebagaimana yang tercantum dalam autobiografinya; ia terang-terangan mengakui berutang budi kepada Al-Farabi, dan ada juga pendapat Ibnu Sina yang bertentangan dengan pendapat Al-Farabi tentang filsafat. Kemudian berbagai masalah dalam filsafat Yunani mendapat kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Dan setelah itu barulah muncul para tokoh-tokoh filsafat dalam Islam diantaranya adalah tokoh Filsafat dari Negara Andalusia, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufa’il dan Sebagainya. Apabila dikaji hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat. Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Socrates dipaksa minum racun atas tuduhan atheisme padahal ia justru berusaha mengantar kaum muda kota Athena kepada penghayatan keagamaan yang lebih mendalam. Filsafat Ibn Rusyd dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap, diasingkan dan meninggal dalam pembuangan. Abelard (1079-1142) yang mencoba mendamaikan iman dan pengetahuan mengalami pelbagai penganiayaan. Thomas Aquinas (1225-1274), filosof dan teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh kafir karena memakai pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad Pertengahan dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota Roma. Sedangkan di zaman moderen tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak dari Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis. Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar dewasa ini. Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi yang dirasakan sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru membantu membersihkan agama dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu legitimasi bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama, baru menjadi saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam mengamalkan tugasnya tidak memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan duniawi. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya. Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu. Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran. Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya. Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah. Mendekati agama secara menyeluruh. Filsafat agama mengembangkanlogika, teori pengetahuan dan metafisika agama. Filsafat agama dapatdijalankan oleh orang-orang beragama sendiri yang ingin memahamidengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki agama-agama.Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara Allah,dunia dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman,baik dan jahat, apriori religius, faham-faham seperti mitos dan lambang,dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan iman kepadaAllah serta masalah "theodicea". Ada juga filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agamakepada salah satu kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsurtransendensi), kritis (mau menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama (mau menunjukkanbahwa agama adalah tipuan belaka). Filsafat Islam merupakan filsafatyang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besarantara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutamaAristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya denganajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafatlain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudahditemukan.' Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesatadalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yangberaliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai bukudan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangandengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafatyang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaranislam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat danmenyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian IbnuRusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yangmembantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusy membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafatyang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan demikian bisadibilang bahwa ilmu filsafat itu terdiri dari dua bagian, bagian pertamayang tidak bertentangan dengan ajaran islam dan bagian kedua yangbertentangan dengan ajarn islam. Dan patut diingat bahwa dalamberagama kita tidak memerlukan filsafat karena nabi dan para sahabatnya juga tidak mengajarkan ilmu filsafat.Ar-Roziy berkata dalam kitab Aqsaamul Ladzdzat : Saya telahmenelaah buku-buku ilmu kalam dan manhaj filsafat, tidaklah sayamendapatkan kepuasan padanya lalu saya memandang manhaj yangpaling benar adalah manhaj Al- Qur‟an…(dan seterusnya). Abu Hamidz Al-Ghozali berkata di awal kitabnya Al-Ihya : “Jikakamu bertanya : „Mengapa dalam pembagian ilmu tidak disebutkan ilmukalam dan filsafat dan mohon dijelaskan apakah keduanya itu tercela atauterpuji ?‟ maka ketahuilah hasil yang dimiliki ilmu kalam dalampembatasan dalil-dalil yang bermanfaat, telah dimiliki oleh Al-Qur‟an danHadits (Al-Akhbaar) dan semua yang keluar darinya adakalanyaperdebatan yang tercela dan ini termasuk kebid‟ahandan adakalanyakekacauan karena kontradiksi kelompok-kelompok dan berpanjang lebarmenukil pendapat-pendapat yang kebanyakan adalah perkataan sia-sia daningauan yang dicela oleh tabiat manusia dan ditolak oleh pendengaran dansebagiannya pembahasan yang sama sekali tidak berhubungan denganagama dan tidak ada sedikitpun terjadi di zaman pertama.   DAFTAR PUSTAKA Drs. Surajito Filsafat ilmu dan perkembangan di indonesia ,Buni Aksara jakarta 2007 Sutarjo.A Wiramiharja,Pebgantar Filsafat , Pt Refika Aditama, Jogjakarta 2006 Kuncoro Eka .L,Manusia Filsafat dan Penddidikan,STAI.Dr KHEZ Muttaqin Purwakarta 2008
SIFAT-SIFAT ALLAH MENURUT BEBERAPA FIRQAH Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Kalam Dosen pengampu: Drs. H. Amir Ghufron, M.Ag Disusun oleh : Farid Hermanto Sugianto FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AKIDAH FILSAFAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA 2011   A. Pendahuluan Perjalanan Islam sebagai risalah yang dibawa oleh Muhammad telah berlangsung lebih dari empat belas abad lamanya. Al-Qur'an sebagai rujukan utama dalam khazanah keislaman selalu dikaji oleh semua lapisan masyarakat untuk melahirkan pemahaman tentang Islam. Dari kajian-kajian tersebut melahirkan berbagai pemahanan yang tidak sedikit menimbulkan pertentangan sebagaimana yang terlihat dalam sejarah perjalanan umat Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Umumnya umat Islam mengakui akan perbedaan pendapat. Bahkan mereka meyakini bahwa umat Islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga golongan. Sebagaimana yang termuat dalam hadis Nabi bahwa umat Islam ini terbagi kepada tujuh puluh tiga golongan. Dalam khazanah Islam muncul dikenal satu golongan yang cukup mendapat tempat terhormat dalam umat Islam. Golongan tersebut adalah golongan salaf. Sering sekali setiap perdebatan tentang pemahaman keislaman dikembalikan dan dicarikan rujukan yang bermuara pada golongan tersebut. Sehingga tidak jarang golongan-golongan yang muncul dalam Islam mengaku bahwa merekalah golongan yang sesuai dengan ulama salaf, dari sanalah salah satunya muncul firqah-firqah dalam Islam. Munculnya firqah-firqah dalam Islam salah satunya terkait erat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Secara global ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah. Perbedaan tersebut menimbulkan pertentangan yang serius antara berbagai aliran kalam seperti mazhab kalam Qodariyah, Mu;tazilah dan Maturidiyyah. B. Pembahasan Sifat-sifat Allah menurut beberapa firqoh 1. Aliran Mu’tazilah Firqah Mu’tazilah menolak semua sifat-sifat Allah . Menurut mereka Allah mengetahui kuasa hidup dgn dzat-Nya bukan dgn sifat-sifat-Nya krn kalau sifat-sifat-Nya berdampingan dgn kekekalan-Nya yg merupakan karakteristik-Nya yg khas berarti sifat-sifat itu pun ambil bagian dalam Dzat Allah. Mengenai kalam Allah mereka berpendapat bahwa kalam Allah itu bersifat temporal dan diciptakan . Ia terdiri dari suara dan huruf-huruf dan kemudian ia ditulis oleh manusia dan dgn demikian berarti Alquran itu makhluk. Lagipula segala yg bertempat dan diciptakan itu dinamakan makhluk dan tiap makhluk pasti akan lenyap . Mereka juga berpendapat bahwa iradah Allah mendengar dan melihat bukanlah merupakan kesatuan sifat yg terdapat dalam Dzat Allah. Mereka berbeda lagi pendapatnya ketika menerangkan makna-makna sifat dan cara-cara wujudnya sifat-sifat itu. Ini akan kami terangkan nanti. Mereka dgn tegas menolak bahwa Allah dapat dilihat dgn mata di hari akhir nanti di sorga. Mereka juga menolak kemungkinan deskripsi apa pun tentang Allah dalam bentuk anthropomorthis seperti misalnya Dia bertempat berbentuk berbadan bergerak berubah bergeser atau beremosi. Jadi ayat-ayat Alquran yg mendeskripsikan tentang diri Allah haruslah ditafsirkan secara metoforis. Begitulah menurut mereka apa yg dimaksud dgn Tauhid. Manusia Memiliki Kekuasaan utk Berbuat Baik dan Buruk serta Bertanggung Jawab terhadap Perbuatan-perbuatannya Itu Mereka sepakat bahwa manusia akan mendapatkan ganjaran atau siksaan di akhirat nanti semata-mata krn perbuatannya sendiri di dunia ini. Manusia tidak dapat menyalahkan Allah dalam perbuatan jelek yg dia lakukan krn kejahatan kezaliman kufur dan dosa tidaklah dinisbatkan kepada Allah krn jika Dia menciptakan perbuatan zalim berarti Ia zalim sebagaimana Ia menciptakan keadilan maka Ia pun Adil. Mereka sepakat bahwa Allah tidak berbuat kecuali kebaikan dan kebajikan. Dari segi hikmah-Nya Dia harus menjaga kemaslahatan para hamba-Nya. Adapun masalah “al-ashlah dan al-luthf” merupakan perkara yg masih mereka perselisihkan. Mereka menamakan hal ini dgn “al-’adlu”. Pelaku Dosa Besar Kekal di Neraka jika Tidak Bertaubat Jika seorang mukmin mati dalam keadaan mamatuhi hukum Allah dan bertaubat dia akan mendapat ganjaran dari Allah dan pahala sedangkan pemberian keutamaan adl sesuatu yg berbeda dari ganjaran dan pahala. Tetapi jika dia mati dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa-dosa besar yg dilakukannya dia akan mendapatkan siksaan yg kekal dari Allah meskipun siksaannya itu akan lbh ringan daripada siksaan terhadap orang kafir. Inilah yg mereka sebut dgn janji dan ancaman dari Allah. Seperti mazhab kalam yang lain, muk’tazilah berkeyakinan akan kemahaesaan tuhan. Menurut mereka, keesaan tuhan itu adalah “ tiada suatu apapun yang pantas menyertai keberadaan tuhan”. Yang dikhawatirkan mu’tazilah disini adalah jika tuhan memiliki sifat, sifat-sifat tuhan itu tentunya kekal sebagaimana kekalnya zat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang kekal itu tidak hanya zat-Nya, tetapi juga sifat-Nya, oleh sebab itu, paham ta’addud al qudama’(berbilangnya yang kadim) muncul. Mu;tazilah percaya bahwa paham ini bisak merusak ajaran tauhid menjadi syirik, untuk menghindari kerusakan tauhid menjadi syirik, mu’tazilah akhirnya meniadakan sifat tuhan. Perkembangan paham mu’tazilah tentang pengingkaran sifat tuhan dapat dilihat dari pemikiran para tokoh mu’tazilah itu. Washil meniadakan sifat tuhan karena keberadaan sifat tuhan membawa paham adanya unsure bilangan pada tuhan. Unsure bilangan itu menunjukkan yang satu itu lebih dari satu. Orang yang berkeyakinan demikian adalah musrik. Dengan lebih filosofis, Abu al-hudzayl menyatakan bahwa jika tuhan bersifat, maka aka nada unsure susunan pada diri tuhan. Susunan itu membawa kepada adanya bagian-bagian. Bagian-bagian yang terjadi adalah zat dan sifat yang sama-sama kadim dan setiap yang kadim adalah tuhan. Disinilah, menurut abu al-hudzayl, paham syirik muncul karena zat dan sifat merupakan dua unsure yang membawa implikasi bahwa tuhan mengandung arti banyak. Oleh sebab itu, tuhan pasti tidak bersifat seperti manusia. Meski tuhan tidak bersifat, bukan berarti bahwa tuhan tidak mengetahui, tidak melihat, tidak berkuasa dan sebagainya. Namun, tuhan tetap mengetahui dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan. Tuhan tetap melihat dengan zat-Nya, bukan dengan penglihatan. Tuhan tetap berkuasa dengan zat-Nya, bukan dengan kekuasaan. Abu al-Hudzal berkata: “ sesungguhnya tuhan maha mengetahui dengan ilmu, ilmu itu adalah Dia sendiri(zat-Nya) hidup dengan kehidupan, kehidupan itu adlah Dia sendiri (zat-Nya)” Disamping itu menurut al- Nazhzham, sifat-sifat tersebut harus terlepas dari tuhan karena keberadaanya membuat pengertian adanya tambahan pada diri tuhan. Allah mengetahui dengan zat-Nya dan dia terlepas dari kebodohan dan kekurangan. Dalam hal ini al-nazhzham berkata: “sesungguhnya sifat-sifat Allah itu adalah sifat salbiyyah (yang menunjukkan ketidaksamaan zat-Nya dengan mahluq), sifat-sifat itu tidak menimbulkan tanbahan bagi zat. Bila anda mengatakan, “sesungguhnya Dia maha mengetahui” berate anda telah menetapkan ilmu bagi Allah, ilmu itu adalah zat Allah sendiri, dan anda mengingkari kebodohan dari zat_Nya” Terdapat sebagian tokoh mu’tazilah(tidak diketahui namanya) yang mengatakan bahwa pemberian sifat kepada tuhan hanya bertujuan sekedar memberitahukan kepada manusia bahwa tuhan itu maha sempurna. Jadi, pemberian sifat-sifat itu bukan benar-benar adanya kepada tuhan, melainkan hanya sekedar metode untuk memperkuat keyakinan manusia kepada tuhan. 2. Aliran Asy’ariyyah  : Tentang Sifat-sifat Allah. Kelompok Asy’ariyyah hanya menetapkan tujuh sifat dzat: Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, Kalam dan Hayat; berdasarkan dalil akal semata. Adapun sifat-sifat khabariyyah, mereka takwilkan; seperti sifat istiwa’ (tinggi di atas arsy-Nya) mereka takwilkan dengan istila’ (menguasai). Mereka juga menolak atau mentakwilkan sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan masyi’ah; seperti sifat Nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya)yang mereka takwilkan dengan nuzul-amrihi (turunnya keputusan Allah); sifat Tangan yang mereka takwilkan dengan qudrat atau nikmat dan lain-lain yang semisalnya. Menurut mereka, menetapkan sifat-sifat itu berdasarkan dzahir nash, berarti menjadikan Allah ber-jisim (tubuh) dan menyerupakan Allah dengan makhluk. Ahlus-Sunnah menetapkan semua sifat Allah yang telah Allah tetapkan sendiri untuk-Nya dalam al-Qur’an dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam as-Sunnah tanpa tahrif, tasybih/tamtsil, takyif maupun ta’thil. Karena Allah telah menyatakan (yang artinya); “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura : 11) Dengan kaidah ayat ini, Ahlus-Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan kekhususan keagungan dan kebesaran Allah yang tidak bisa diserupakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Dan ini berlaku untuk semua sifat Allah, tidak berbeda antara sebagian sifat dengan sifat yang lain. Karena menetapkan sebagian sifat Allah berarti mengharuskan untuk menetapkan sebagian sifat yang lainnya. Maka, jika mereka bisa menetapkan sebagian sifat, seperti Ilmu, Qudrat (kuasa/mampu), Iradat (keinginan/kehendak), Sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Kalam dan Hayat, mengapa mereka tidak bisa menetapkan sifat-sifat yang lainnya –dengan alasan bahwa menetapkannya akan jatuh kepada menyerupakan Allah dengan makhluk. Bukankah sifat-sifat yang mereka tetapkan seperti ilmu dan lainnya juga dinisbatkan pada makhluk? Maka berarti mereka sendiri telah jatuh pada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kalau mereka mengatakan bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut hanya layak bagi Allah yang tidak sama dengan yang dimiliki makhluk-Nya. Maka mengapa mereka bisa mengatakan hal itu untuk sifat-sifat yang mereka tetapkan saja. Mengapa mereka tidak bisa mengatakan yang sama untuk sifat-sifat yang lainnya, dengan mengatakan bahwa menetapkan semua sifat-sifat Allah itu adalah hanya layak bagi Allah yang tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Jadi, dengan kaidah ayat diatas, bisa disimpulkan bahwa kesamaan lafazh sifat antara yang ada pada Allah dengan yang ada pada makhluk tidak mengharuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat makhluk. Dan hakikat sifat-sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri. Wallahu a’lam. 3. Aliran Maturidiyah Sejalan dengan pemikiran al-Asyari, al maturidi mengatakan bahwa Allah mempunyai bebrapa sifat. Tuhan mahakuasa, maha mengetahui, dan lain-lain seperti yang terdapat dalam alquran. Rosulullah saw juga menjelaskan demikian. al –maturidi beralasan mengapa tuhan brsifat karena dia sendiri yang mengatakan bahwa dia maha kuasa, maha mengetahui, maha mendengar dan sebagainya. Dengan demikian, menurut al-maturidi, tuhan mengetahui dengan oengetahuan-Nya, bebrkuasa denga kekuasan-Nya, bukan dengan zat-Nya. Pemikiran tentang keberadaan sifat yuhan juga dipertahankan oleh al-Bazdawi. Ia berpendapat bahwa sifat tuhan itu tidal lain dari Allah. Tidaklah tergambarkan bahwa zat itu tanpa ilmu,qudrah, hayah dan sebgainya. Bila sifat itu tidal lain dari zat Allah berate tidak terjadi ta’addud al-qudama’. Ungkapa qudama’ sebenarnya keliru. Yang benar adalah ungkapan qodimun wahid. Oleh sebab itu, sebutan sifat-sifat itu hanya sekedar menunjukkan kesumparnaan zat tuhan. Pemahaman tentang keberadaan sifat-sifat tuhan tidak membawa orang kepada syirik. Dengan kata lain, harun Nasution menjelaskan bahwa persoalan banyak yang kekal karena keberadaan sifat-sifat sebenarnya terdapat dalam zat tuhan bukan kekalnya itu sendiri tidak kekal. 4. Jabariyyah dan Qodariyah Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, kelompok ekstrin dan moderat, diantara tokoh-tokoh jabariyah ekstrim , kaum jabariyah disebut sebagai kaum jahmiyah.Doktrin pokok Ja’d secara umum.Al-Ghuraby menjelaskan sebgai berikut: Alquran itu adalah makhluq. Oleh karena itu,dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluq, seperti berbicara, melihat, dan mendengar. Manusia terpaksa Oleh Allah dalam segala-galanya, salah ssatu sifat Allah adalah Al-jabar yang berate Allah adalah maha yang memaksa ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan tuhan dalangnya .disamping itu kaum jahmiah juga mengingkari adanya ru’ya( melihat Allah dengan mata kepala di akhirat) Sedangkan aliran Qodariyah suatu aliran yang percaya bahwa setiap tindakan manusia tidak di intervensi oleh Allah.orang-orang yng berpaham qodariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebsan berkehendak dan memililki kemampuan dalam melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk, Qodariyah menganggap Allah tidak bersikap adil terhadap manusia, jika perbuatan manusia diciptakan atau dijadikan oleh Allah mengapa manusia diberi pahala jika berbuat baik, dan disiksa jika berbuat maksiat dan dosa,doktrin qodariyah sebetulnya lebih luas dikupas oleh kalangan mu’tazilah, dan yang dimaksud dengan nama mereka menganggap Allah SWT. Itu benar-benar esa satu tanpa ditambah sifat apa-apa. Kalau yang berkuasa itu zat Allah, bukan Allah memilki sifat qodrat sebab menurut mereka kalau dikatakan bahwa Allah memiliki sifat, berarti Allah SWT itu tidak esa/satui. Apalagi kalau diakatakan bahwa Allah itu juga qodim, sebab jika demikian kata merekasifat Allah itu sama dengan zat-Nya sendiri. Kaum qodariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah ntidak memilki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, qudrat, hayatmendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas zat Allah, qodariyah mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu. 5. khawarij. Terlihat jelas dari kitab-kitab mereka, bahwa mereka meniadakan sifat bagi Allah, mereka tidak jauh beda dengan Mu’tazilah dalam mena’wilkan sifat-sifat Allah. Akan tetapi mereka mengklaim bahwa yang demikian itu karena berangkat dari sisi keyakinan, yang mana mereka berpendapat untuk menta’wilkan sifat secara majazi (makna yang bukan sebenarnya) agar memiliki makna yang tidak menimbulkan tasyabbuh (penyerupaan) dengan makhluk. Akan tetapi telah jelas bahwa kebenaran dalam hal ini tetap bersama ahlus sunnah wal jama’ah yang senantiasa mengikuti dalil, dalam penetapan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah Ta’ala sebagaimana yang telah Allah tetapkan begi diriNya tanpa ta’thil (meniadakan makna), takyif (menanyakan kaifiyah), tahrif (merubah), dan tanpa tamtsil (menyerupakan). Mereka mengingkari bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah di akhirat. Padahal telah jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah : 22-23) Menta’wilkan perkara-perkara yang ada di alam akhirat dengan ta’wil majazi (dengan makna yang bukan sebenarnya) seperti mizan, dan sirath. Bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan hasil usaha manusia, dalam hal ini mereka tengah-tengah antara Qadariyah dan Jabariyah. Sifat-sifat Allah bukanlah tambahan atas Dzat Allah, akan tetapi sifat-sifat tersebut Dzat itu sendiri.,Al-Qur’an bagi mereka adalah makhluk, dalam hal ini mereka sepakat dengan khawarij. Pelaku dosa besar menurut mereka adalah ‘kafir kufur nikmat atau kufur nifaq’. Manusia menurut pandangan mereka ada tiga kelompok: Orang-orang mukmin yang melaksanakan keimanannya, Orang-orang musyrik yang jelas kesyirikannya. Dan orang-orang yang mengumumkan kalimat tauhid dan meyakini Islam akan tetapi mereka tidak iltizam terhadapnya baik akhlaq atapun ibadahnya. Mereka bukanlah orang-orang musyrik karena mereka mengikrarkan tauhid, mereka bukan juga orang-orang mukmin, karena tidak iltizam terhadap konsekwensi keimanan. Jadi mereka bersama orang-orang mukmin dalam hukum dunia karena ikrar mereka terhadap tauhid, dan mereka bersama orang-orang musyrik dalam hukum akhirat karena mereka tidak melaksanakan konsekwensi keimanan dan penyimpangan mereka terhadap kandungan tauhid berupa amalan (yang menyimpang) ataupun meninggalkan yang diperintahkan. Ahli qiblat yang menyelisihi mereka disebut kuffar yang bukan musyrik, boleh menikahi mereka, halal mewarisi harta meraka, harta ghanimah yang berupa peralatan perang seperti senjata, kuda dan yang semisalnya adalah halal dan harta selain itu adalah haram. Pelaku dosa besar adalah kafir, dan tidak mungkin dalam kondisinya bermaksiat dan terus-menerus diatas maksiatnya tersebut ia akan masuk surga apabila tidak bertaubat darinya. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan mengampuni pelaku dosa-dosa besar kecuali apabila ia bertaubat darinya sebelum meninggal. Orang yang melakukan dosa besar maka ia disebut kafir (secara lafadz) yang maksudnya menurut mereka adalah kufur nikmat atau kufur nifaq bukan kufur dari agama. Dan bagi yang meninggal diatas dosa besar maka ia akan kekal dineraka jahannam, dalam hal ini mereka sama dengan khawarij dan mu’tazilah. Sedangkan yang benar adalah sebagaimana yang aqidah ahlus sunnah orang tersebut disebut ahli maksiat atau fasiq, dan ketika meninggal dalam keadaan beluum bertaubat dari maksiatnya maka ia ‘tahta masyi’atillah’ (dibawah kehendak Allah) apbila Allah berkehendak maka ia akan diampuni dengan kemuliaanNya dan apabila Allah berkehendak maka ia akan di adzab dengan keadilanNya sampai ia disucikan dari perbuatan dosa-dosanya kemudian dipindahkan ke surga. Mereka mengingkari syafa’at bagi ahli maksiat dari orang-orang yang bertauhid, karena ahli maksiat menurut mereka adalah kekal di neraka. Maka tidak ada syafa’at bagi mereka hinga mereka keluar dari neraka. Mereka meniadakan persyaratan ‘Dari keturunan Quraisy’ dalam masalah imam (kepemimpinan), karena setiap muslim layak untuk menduduki jabatan itu jika memenuhi syarat-syarat keimaman. Dan imam yang menyimpang harus dilengser dan di ganti yang lainnya. Sebagian mereka mengadakan penyerangan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhum. Imamah dengan cara washiat adalah bathil (menurut mereka), dan tidaklah pemilihan imam itu kecuali dengan cara bai’at. Tidak wajib khuruj (memberontak) kepada imam yang zhalim, tidak pula melarangnya akan tetapi membolehkannya. Dan apabila kondisi mendukung dan mudharatnya ringan maka hukum memberontak menjadi wajib, dan apabila kondisi tidak memungkinkan bahaya akan lebih besar, hasil tidak mungkin tercapai maka hukumnya menjadi dilarang. Bersamaan dengan itu bahwa memberontak tidaklah dilarang dalam kondisi apapun. Dan pemikiran-pemikiran menyimpang lainya. Kesimpulan Jadi dengan kaidah ayat diatas, bias disampaikan bahwa kesamaan lafaz sikap antar yang ada pada Allah dan yang ada pada mahkluq tidak menghapuskan kita menyerupakan hakikat antara sifat Allah dan sifat mahkluq dan hakikat sifat sifat Allah itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah sendiri Daftar pustaka  Ali Mudhofir, kamus teori dan aliran dalam filsafat Yogyakarta Liberty ,1988  Harun Nasution, Teologi Islam,aliran-aliran sejarah analisa perbandingan Jakarta :UI pres, 2008  Ibnu Rusd, perdebatan Utama teologi islam , jakarta :Erlangga ,2006  DR. Fuad Mohd.Fachruddin, sejarah perkembangan pemikiran dalam islam. Jakarta:CV Yasaguna, 1990  Abdullah,Lc. Mengenal aliran-aliran Islam dan cirri-ciri ajaranya, Jakarta: Pustaka Al-Riyadl,;2003  Syaikh Shalih Fauzan Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Daarul Ibnul Jauzi

EPISTEMOLOGI KALAM
disusun oleh Farid hermanto(260942009) 
jurusan aqidah filsafat
IAIN SURAKARTA
A.    PENDAHULUAN
Membahas mengenai teologi sudahlah tidak asing bagi kita, tetapi sebelum kita jauh melangkah menelesuri berbagai macam teologi disini kami akan membahas mengenai epistemologi dari kalam itu sendiri, meliputi pengertian epistemologi dan teologi, kerangka teori dari makalah ini, pembahasan dan penutup.
1.      PENGERTIAN
Epistemologi secara umum  adalah sebuah teori pengetahuan yang berurusan dengan hakikat, dasar dari segala sesuatu dan lingkup pengetahuan. Epistemologi tidak bisa dilepaskan dari penggunaan akal dan rasio dalam menjelaskan pokok-pokok bahasanya. Jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu lainya, epistemologi sangatlah berhubungan erat apalagi jika dikaitkan dengan Teologi sudah tentu seperti syarat yang harus ada dalam tubuh Teologi itu sendiri. Epistemologi seolah berperan sentral sebagai alat penting bagi Teologi, karena epistemologi menggunakan akal dan rasio untuk mengungkap apa yang terdapat dalam Teologi.
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi (ilmu kalam bagi agam Islam) yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Seseorang yang telah mengetahui teologi dengan cara mempelajarinya secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kukuh dalam beragama.
Dalam kajian keislaman, Teologi sering disebut juga dengan Ilmu kalam. Disebut demikian karena sebenarnya kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian baik dari segi kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya(wujud,sifat dll) maupun dalam pertalian Tuhan dengan alam semesta (penciptaan alam, keadilan, kebijaksanaan, wahyu, pengutusan rasul dll). Untuk itu teologi sebagai salah satu obyek kajian perlu ditelaah dengan pendekatan epistemologi agar ilmu dan metode-metode yang terdapat didalamnya tidaklah mandeg dan dapat mengikuti perkembangan zaman.
2.      KERANGKA TEORI
Realism atau yang lebih populer dengan sebutan empirism adalah paham yang  lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus  sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.
Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan teori epistemologis empirisme, dimana sumber kebenaran itu dibuktikan melalui pengalaman, pengalaman disini kami tekankan pada fakta historis masa lalu. 
B.     PEMBAHASAN
a.      Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat dasar, ruang lingkup, pernggapan-peranggapan dan dasr-dasar serta reabilitas umum pengetahuan.  Cikal bakal epistemologi sebetulnya telah diletakkan oleh Plato namun sebagai cabang filsafat, epistemologi mulai berkembang pesat setelah gema rasionalism dihembuskan oleh Descartes yakni pada abad ke- 17 dan 18 pada sa’at tradisi pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, tak lagi mengalami perkembangan yang berarti.
Obyek yang dikaji dalam epistemologi adalah pengetahuan untuk itu Epistemologi berusaha menyusun sebuah uraian secara jelas dan meyakinkan tentang apakah arti dari mengetahui itu sendiri sehingga dapat memahami hakikat suatu bentuk pemikiran  atau pengetahuan. Demikian pula membuka perspektif baru menemukan pengetahuan yang lebih luas serta menghilangkan sikap skeptis atau keraguan awal dalam pencarian pengetahuan.
 Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, adalah  idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “ide”, “category”, “form” sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran pancaindera dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah, realism atau yang lebih populer dengan sebutan empirism yang lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus  sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.Dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat membuka perspektif  baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, sedangkan kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, beringsut lebih tajam ke wilayah idealism dan rasionalism dengan tidak peduli terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme.
Jadi secara gambaran besarnya, epistemologi mempunyai dua alat untuk dapat menangkap pengetahuan yaitu indra dan akal. Walaupun keduanya (dalam aliran diatas)seperti terjadi kontradiksi dalam mempertahankan keyakinan aliran masing-masing, namun keduanya adalah hal yang mesti ada dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu dan kita selalu perlu keduanya itu.Dengan demikian untuk mengetahui berbagai bentuk pemahaman terhadap agama, khususnya adalah teologi, maka pelacakan dan penggunaan epistemologi tidak dapat dipisahkan.


b.      Epistemologi Kalam
Membahas mengenai kalam jika dikaitkan dengan Teologi tentu tidak terlepas dari Ilmu kalam itu sendiri karena Teologi adalah sebagai mana yang diterangkan diawal bahwa teologi bisa juga disebut dengan Ilmu  kalam. Hal ini dikarenakan ada beberapa persamaan dalam kajian yang dibahas oleh kedua istilah tersebut.
Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam islam disebut ilmu kalam, karena soal kalam, sabda Tuhan atau Al-Quran pernah menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat islam di abad ke sembilan dan ke sepuluh masehi, sehingga timbul penganiyaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim diwaktu itu.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam islam disebut ilmu al-kalam, karena kaum teolog islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.. teolog dalam islam memang didebut dengan mutakalimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Perbincangan epistemologi dalam bahasan kali ini kami sederhanakan  menjadi perbincangan tentang sumber, metode dan keabsahan suatu kebenaran ilmu kalam dengan merujuk kepada fakta historis yang ada pada aliran-aliran kalam. 
a.       Sumber Kebenaran.
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang  kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah  bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis. Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama.
Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah. Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an,  seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.
Ada berbagai masalah yang sering ditemukan dalam model pemikiran tersebut, yaitu bahwa dalam pemikiran kalam, teks  yang dibaca itu sering terlepas dari tradisi, konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang dibacakan itu. Padahal tradisi jauh lebih kompleks dibanding penuturan sebuah teks
Dalam perspektif di atas, teks memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antar manusia sendiri, antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia yang  konkret. Masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran kalam adalah bahwa teks (Alqur’an)  yang diyakini sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah historis. Oleh karena itulah dalam memahami teks (Alquran), justru yang banyak ditemukan adalah analogi konseptual antara the world of human being danthe world of God dan tidak menggunakan analogihistoris-kontekstual, misalnya antara dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di zaman serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun kita yakini bahwa teks Alqur’an  se akan-akan sebagai “penjelmaan” dan “kehadiran” Tuhan, namun bagaimanapun juga begitu memasuki wilayah sejarah, firman tadi terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia.
Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebakan bahwa kitab suci ini mempunyai eksistensi yang tetap dan  diyakini secara penuh, yakni: pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun. Kedua, terdokumentasikan dalam bentuk tulisan yang terjaga rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis. Ketiga, diperkuat lagi oleh tradisi  dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat Alqur’an sebagai bacaan dan do’a-do’a.
Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada  dalam ilmu kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir kelompok tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan paham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas  disebut dalam ayat-ayat Alqur’an maupun hadis, yaitu teks ayat Alqur’an dan hadis yang tidak bisa diinterpretasi lagi mempunyai arti selain artiharfiyah. Sebaliknya penganut teologi tradisional kurang mempunyai ruang gerak  karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang  bisa mengandung arti lain dari artiletterlek yang terkandung di dalamnya, dan ayat-ayat ini mereka artikan secara harfiyah.
b.       Metode.
Bahasa  merupakan aspek yang mendominasi tradisi pemikiran kalam, terutama bila mereka (mutakallimin) yang ahli di bidang  ini ingin mengeluarkan sebuah produk hukum atau ajarannya. Dominasi kajian bahasa dalam ilmu kalam di antaranya memang  disebabkan oleh faktor historis, artinya kehadiran para teolog pada awalnya adalah sebagai propogandis suatu aliran tertentu. Berkaitan dengan belum tersedianya perangkat keras yang  memadai sa’at itu, maka praktis retorika adalah pilihan yang tepat. Di sisi lain para mutakallimin ini adalah para konseptor dalam merumuskan konsep-konsep iman dan sekaligus menjadi  pembelanya.
Salah satu bentuk konkret keterlibatan mereka dengan aturan penafsiran teks adalah munculnya masalah takwildan i’jaz Alqur’an. Persoalan lafadz dan makna di kalangan mutakallimin juga cukup mencolok dalam diskursus mereka mengenai Alqur’an sebagai makhluk atau kalam Allah. Karena itulah di  sini muncul persoalan apakah kalam itu sendiri terdiri dari lafadz (huruf) dan ma’na atau kalamnafsi yang tidak terdiri dari lafadz dan ma’na.Dalam hal takwil misalnya, intensitas kajian lafadzdan ma’na menjadi begitu tinggi karena takwil dalam pemikiran Arab Islam hanya berlaku untuk wacana Alquran saja dan tidak lepas dari aturan-aturan bahasa yang ketat. Karena bahasa yang ketat dalam pemaknaan inilah menjadikan takwil mereka tetap berada dalam dataran dialektis belaka (bayani).
Jadi dengan demikian takwil dalam pandangan ahli kalam (Mu’tazilah misalnya) tidak lebih dari merujukkan ayat yang mutasyabihkepada yang muhkam. Sesuai dengan dua kategori ayat ini, lalu mereka membagi teks syar’i menjadi  dua kelompok, yakni: kelompok yang disebut manzum al-khitab dan kelompok ma’qul al-khitab, dan ini sudah barang tentu menyangkut masalah lafadz dan makna. Mengenai hubungan antar keduanya  dapat disimpulkan bahwa: pertama, lafadz bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, ke dua, lafadz bisa menunjuk pada makna tapi makna yang dimaksud  adalah makna yang  lain, ke tiga, lafadz hanya sekedar mengingatkan pada makna yang sudah diperoleh akal.
Pada kondisi pertama, peran akal hanya sebagai alat memahami dan menghimpun makna, pada kondisi kedua peran akal sebagai alat penjelas dan penggali makna, dan pada kondisi ketiga, akal adalah alat takwil dan deduksi, tapi yang jelas,dari keseluruhan hubungan lafadz dan makna di atas peran akal tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i. Jika memang demikian pola kerjanya maka dari sudut kajian  lingguistik kontemporer,  dapat dijelaskan bahwa pemikiran kalam  dan pola pikir ‘aqidah  lebih menganut aliran monistik,[ dan bukannya menganut aliran dualistik maupun pluralistik.
c.        Validitas atau Keabsahan Kebenaran Dalam Ilmu Kalam.
Berdasarkan objek pembahasan ilmu kalam, yakni eksistensi Tuhan dan sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta serta manusia, metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan eksistensi Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya.. Penalaran metode deduktif mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran kebenaran dalam proses pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi ini kebenaran satu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.
 Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah mutlak benar itu  kemudian diikuti  dengan prinsip-prinsip yang membuktikannya.  Para ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan dalam menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama.Ketika kaum Mu’tazilah tertarik pada masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka titik pangkal pemikiran mereaka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka mengkaji masalah tersebut selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu apakah kebebasan berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Tuhan Yang Maha Adil. Bagi kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat berbuat buruk dan  tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan Tuhan, kaum As’ariyah justru menjunjung tinggi  konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah mengenai hubungan perbuatan manusia    dalam kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan digambarkan dengan istilah al-Kasb. Al-Kasb, demikian al-Asy’ari mengatakan, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat  (al-muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
Dengan kata lain, yang mewujudkan al-kasb (perbuatan manusia) sebenarnya adalah Tuhan sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada.
 Hal ini didasarkan firman Tuhan, “Kamu tidak menghendaki kecuali Tuhan menghendaki” (QS. 76: 30). Ayat ini di artikan oleh al-Asy’ar bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu itu. Jadi dari konsep kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.
Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang  dikemukakan oleh kedua aliran  teologi di atas nampaklah bahwa adanya penggunaan metode deduktif dalam kajian kalam, yaitu penurunan doktrin dari yang bersifat umum ke doktrin yang bersifat khusus  dengan konsekwensi bahwa teori koherensi  sebagai kriteria dalam mencapa kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai kriterium kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam klasik bercorak metafisik-spekulatif dan kurang mampu berdialog dengan  realitas empiris kehidupan masyarakat yang terus berubah. Corak bangunan epistemologi ilmu kalam yang demikian, yakni kriteria kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin  yang dibangun memerlukan adanya  kritik historis.
Produk pemikiran kalam klasik sebagai respon terhadap fenomena masyarakat  yang muncul pada penggalan  sejarah  tertentu barangkali memang relevan  dengan persoalan-persoalan pada masanya, tapi akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan epistemologi ilmu kalam klasik yang demikian.Pola logika pemikiran Kalam yang bersifat deductive adalah mirip-mirip dengan pola berpikir Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu  yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari idea, yaitu ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia  secara kodrati sejak awal mulanya. Ide kebajikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui lewat pengalaman historis-empiris-induvtive tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak sebelum lahir. Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.  
Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia  lewat pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar lewat pengamatan  dan pengalaman indrawi. Pemikiran Islam pada umumnya  dan pemikiran kalam pada khususnya juga bersifat deductive seperti itu. Hanya saat fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti untuk tidak mengatakan diislamkan oleh ayat-ayat Alquran  dan teks-teks hadis. Bahkan sering kali melebar  sampai keijma’ dan qiyas. Perhatian kepada perlunya dalil dan istidlal   sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berfikir yang justifikatif terhadap tek-teks yang sudah tersedia.

C.    PENUTUP
Dalam tulisan ini,  sudah barang tentu tidak ada maksud menghapus jasa besar dari format ilmu kalam klasik yang sudah banyak memberikan muatan spritualitas  keagamaan umat Islam, tapi kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika umat Islam ingin mengetahui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam realitas kehidupan Muslim dan  menjadikan agama sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Perlunya pembenahan itu antara lain pada struktur epistemologi yang terkandung di dalamnya, sumber, metodologi dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan darinya. Untuk itu diperlukan pendekatan berbagai disiplin  ilmu-ilmu yang  lain, bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri.    



[1] Epistemologi berasal dari bahasa yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori, didefinisikan sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal, struktur, metode-metode dan keabsahan pengetahuan.(ledger Wood, “Epistemology” dalam Dagobert D.Runes, h. 94)untuk selanjutnya lihat di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.
[2] Istilah teologi berasal dari bahasa Yunani : Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti Ilmu. Teologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang Tuhan serta hubungan Tuhan dengan realitas duniawi. Lihat juga di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 111.

[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran , Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[4]  Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, ( Yogyakarta : Kanisius, 1981), h: 16             
[5] Dikutip dari Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.

[6] Descartes pada saat meneliti “pandagan Alam” nya, memeriksa keyakinanya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat, dan berbagai ilmunya tiba-tiba  ia terperosok kedalam masalah epistemologi dan mengatakan “dengan dalil apa tatkala saya menyatakan bahwa alam ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, dunia ini ada, paris itu ada, agama al masih adalah demikian?”. Kemudian ia menuju pada berbagi alat dan instrumen epistemologi, ia melihat semuanya masih dapat diperdebatkan lagi. Ia bersandar pada indra dan rasio, namun dia menemukan keduanya terdapat kelemahan. Kemudian ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, dan mulai meragukan segalanya. Taatkala ia merasa tenggelam dalam keraguan ia tiba-tiba disadarkan oleh pernyataannya sendiri sekalipun dia meragukan segalanya akan tetapi dia tidak dapat merasa ragu bahwa dirinya tengah merasa ragu.disinilah ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bahwa “dia itu ada”karena dia yang tengah merasa ragu meyakini bahwa dia itu ada. Sejak peristiwa ini descartes mulai menghembuskan epistemologi sebagai alat untuk segala hakikat yang ada.(Murtadha Muthahari, mengenal epistemologi, Lentera 2001, hlm 27).
[7] Op, cit hlm. 115
[8]  Amin Abdullah. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Filsafat Islam, Irma Fatimah (ed), (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 28.
[9] Ibid., hlm. 35
[10] Murtadha Muthahari. Mengenal Epistemologi, Jakarta : Lentera 2001, hlm 27).

[11] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran , Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[12] Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama , Sebuah Kajian Hermeneutik  (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 23
[13] Ibid., hal. 9
[14] Ibid., hal. 241
[15] Harun Nasution. Teologi Islam, Sejarah  Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), hal. 151.
[16] Abid al-Jabiry. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyah, 1990), hal. 15.
[17] Ada 3 (tiga) tiga yang berkaitan dengan hubungan antara lafadz dan makna, yaitu: pertama, monisme yang berpendapat bahwa makna dengan lafadz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, Dengan kata lain tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahamai teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang manunggal datu kesatuan.  Kedua, aliran dualisme yang mengatakan  bahwa antara lafadz dan makna dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks. Ketiga:  aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara lafadz dan makna sangat kompleks. sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruk meta-fungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kmpleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks. (lihat Amin Abdullah. “Kajian Kalam……….”dalamal-Jami’ah, no. 65/vi/2000, hal. 87).
[18] Vincent Brummer. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction (London: The MacMillan Press Ltd., 1981), hal. 172.