Minggu, 27 Mei 2012

SEJARAH FILSAFAT AGAMA disusun oleh farid hermanto aqidah filsafat IAIN SURAKARTA Sejarah Filsafat agama: Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H). Filsafat agamaIslam berbeda dengan teologi (ilmu kalam) dari sisi metodologinya. Filsafat mendasarkan diri pada metode burhani sementara teologi pada jadalli. Filsafat agama berada pada semangat inkorporasi atau mendamaikan antara akal dengan wahyu. Gabungan antara pemikiran liberal dan kepercayaan religius. Secara ontologis filsafat Islam menyakini adanya realitas hierarkis yang terbentang dari alam metafisik hingga fisik. Secara epistemologis filsafat agama menyakini akal, hati,indra dan teks suci sebagai sumber pengetahuan yang valid. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat agama. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik. Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya. Sejarah Filsafat Agama Dalam sejarah dan perkembangan Filsafat dalam teologi agama A. Filosofis Al-Kindi pada tahun (801-873). Pada masa awal Islam filsafat ini berkembang secara perlahan-lahan, hingga dapat mempengaruhi beberapa tokoh Islam pada masa itu, sebagai bukti bahwa disini mulanya filsafat agama, Al-Kindi pernah menulis sebuah buku yang berjudul (Al-Falasafah Au-l-‘Ula). B. Filosofis Al-Farabi pada Tahun (870-950). Pada masa ini Al-Farabi dikenal sebagai tokoh filosofi Islam yang mengambil teori berfilsafat dari Al-Kindi dan dikembangkan melalui karya karyanya. C. Filosofis Ibnu Sina pada tahun (980-1037). Pada masa ini Ilmu filsafat agama dikembangkan oleh Ibnu Sina menjadi berbagai demensi kedesiplinan Ilmu dalam filsafat agama, sehingga Ibnu Sina berhak mendapat julukan sebagai Filosofis Peripatetik muslim orang barat menyebutkan Par Excellennce , padahal pada masa itu Ibnu Sina baru berusia sepuluh Tahun, dan dan ia mahir dalam mendalami ilmu kedokteran disaat usianya enam belas tahun , Ibnu Sina pernah berguru kepada Al-Farabi dalam ilmu Filsafat, sebagaimana yang tercantum dalam autobiografinya; ia terang-terangan mengakui berutang budi kepada Al-Farabi, dan ada juga pendapat Ibnu Sina yang bertentangan dengan pendapat Al-Farabi tentang filsafat. Kemudian berbagai masalah dalam filsafat Yunani mendapat kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Dan setelah itu barulah muncul para tokoh-tokoh filsafat dalam Islam diantaranya adalah tokoh Filsafat dari Negara Andalusia, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufa’il dan Sebagainya. Apabila dikaji hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat. Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Socrates dipaksa minum racun atas tuduhan atheisme padahal ia justru berusaha mengantar kaum muda kota Athena kepada penghayatan keagamaan yang lebih mendalam. Filsafat Ibn Rusyd dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap, diasingkan dan meninggal dalam pembuangan. Abelard (1079-1142) yang mencoba mendamaikan iman dan pengetahuan mengalami pelbagai penganiayaan. Thomas Aquinas (1225-1274), filosof dan teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh kafir karena memakai pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad Pertengahan dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota Roma. Sedangkan di zaman moderen tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak dari Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis. Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar dewasa ini. Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi yang dirasakan sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru membantu membersihkan agama dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu legitimasi bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama, baru menjadi saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam mengamalkan tugasnya tidak memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan duniawi. Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya. Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu. Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran. Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya. Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah. Mendekati agama secara menyeluruh. Filsafat agama mengembangkanlogika, teori pengetahuan dan metafisika agama. Filsafat agama dapatdijalankan oleh orang-orang beragama sendiri yang ingin memahamidengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki agama-agama.Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara Allah,dunia dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman,baik dan jahat, apriori religius, faham-faham seperti mitos dan lambang,dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan kerasionalan iman kepadaAllah serta masalah "theodicea". Ada juga filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agamakepada salah satu kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsurtransendensi), kritis (mau menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama (mau menunjukkanbahwa agama adalah tipuan belaka). Filsafat Islam merupakan filsafatyang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besarantara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutamaAristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya denganajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafatlain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudahditemukan.' Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesatadalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yangberaliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai bukudan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangandengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafatyang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaranislam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat danmenyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian IbnuRusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yangmembantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusy membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafatyang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dengan demikian bisadibilang bahwa ilmu filsafat itu terdiri dari dua bagian, bagian pertamayang tidak bertentangan dengan ajaran islam dan bagian kedua yangbertentangan dengan ajarn islam. Dan patut diingat bahwa dalamberagama kita tidak memerlukan filsafat karena nabi dan para sahabatnya juga tidak mengajarkan ilmu filsafat.Ar-Roziy berkata dalam kitab Aqsaamul Ladzdzat : Saya telahmenelaah buku-buku ilmu kalam dan manhaj filsafat, tidaklah sayamendapatkan kepuasan padanya lalu saya memandang manhaj yangpaling benar adalah manhaj Al- Qur‟an…(dan seterusnya). Abu Hamidz Al-Ghozali berkata di awal kitabnya Al-Ihya : “Jikakamu bertanya : „Mengapa dalam pembagian ilmu tidak disebutkan ilmukalam dan filsafat dan mohon dijelaskan apakah keduanya itu tercela atauterpuji ?‟ maka ketahuilah hasil yang dimiliki ilmu kalam dalampembatasan dalil-dalil yang bermanfaat, telah dimiliki oleh Al-Qur‟an danHadits (Al-Akhbaar) dan semua yang keluar darinya adakalanyaperdebatan yang tercela dan ini termasuk kebid‟ahandan adakalanyakekacauan karena kontradiksi kelompok-kelompok dan berpanjang lebarmenukil pendapat-pendapat yang kebanyakan adalah perkataan sia-sia daningauan yang dicela oleh tabiat manusia dan ditolak oleh pendengaran dansebagiannya pembahasan yang sama sekali tidak berhubungan denganagama dan tidak ada sedikitpun terjadi di zaman pertama.   DAFTAR PUSTAKA Drs. Surajito Filsafat ilmu dan perkembangan di indonesia ,Buni Aksara jakarta 2007 Sutarjo.A Wiramiharja,Pebgantar Filsafat , Pt Refika Aditama, Jogjakarta 2006 Kuncoro Eka .L,Manusia Filsafat dan Penddidikan,STAI.Dr KHEZ Muttaqin Purwakarta 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar