EPISTEMOLOGI KALAM
disusun oleh Farid hermanto(260942009)
jurusan aqidah filsafat
IAIN SURAKARTA
A.
PENDAHULUAN
Membahas
mengenai teologi sudahlah tidak asing bagi kita, tetapi sebelum kita jauh
melangkah menelesuri berbagai macam teologi disini kami akan membahas mengenai
epistemologi dari kalam itu sendiri, meliputi pengertian epistemologi dan
teologi, kerangka teori dari makalah ini, pembahasan dan penutup.
1.
PENGERTIAN
Epistemologi
secara umum adalah sebuah teori
pengetahuan yang berurusan dengan hakikat, dasar dari segala sesuatu dan
lingkup pengetahuan. Epistemologi tidak bisa dilepaskan dari penggunaan akal
dan rasio dalam menjelaskan pokok-pokok bahasanya. Jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu
lainya, epistemologi sangatlah berhubungan erat apalagi jika dikaitkan dengan Teologi sudah
tentu seperti syarat yang harus ada dalam tubuh Teologi itu sendiri. Epistemologi
seolah berperan sentral sebagai alat penting bagi Teologi, karena epistemologi
menggunakan akal dan rasio untuk mengungkap apa yang terdapat dalam Teologi.
Teologi sebagaimana diketahui,
membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin
menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu
mempelajari teologi (ilmu kalam bagi agam Islam) yang terdapat dalam agama yang
dianutnya. Seseorang yang telah mengetahui teologi dengan cara mempelajarinya
secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kukuh
dalam beragama.
Dalam kajian
keislaman, Teologi sering disebut juga dengan Ilmu kalam. Disebut demikian
karena sebenarnya kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian baik
dari segi kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya(wujud,sifat dll)
maupun dalam pertalian Tuhan dengan alam semesta (penciptaan alam, keadilan,
kebijaksanaan, wahyu, pengutusan rasul dll). Untuk itu teologi sebagai salah
satu obyek kajian perlu ditelaah dengan pendekatan epistemologi agar ilmu dan
metode-metode yang terdapat didalamnya tidaklah mandeg dan dapat mengikuti
perkembangan zaman.
2. KERANGKA TEORI
Realism atau
yang lebih populer dengan sebutan empirism adalah paham yang lebih menekankan
peran indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran)
sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di
sini peran akal dinomorduakan.
Dalam
pembuatan makalah ini kami menggunakan teori epistemologis empirisme, dimana
sumber kebenaran itu dibuktikan melalui pengalaman, pengalaman disini kami
tekankan pada fakta historis masa lalu.
B. PEMBAHASAN
a. Epistemologi
Epistemologi adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat dasar, ruang lingkup, pernggapan-peranggapan
dan dasr-dasar serta reabilitas umum pengetahuan.
Cikal bakal epistemologi sebetulnya telah diletakkan
oleh Plato namun sebagai cabang
filsafat, epistemologi mulai berkembang pesat setelah gema rasionalism
dihembuskan oleh Descartes yakni pada abad ke- 17 dan 18 pada sa’at tradisi
pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, tak lagi mengalami perkembangan yang
berarti.
Obyek yang dikaji
dalam epistemologi adalah pengetahuan untuk itu Epistemologi berusaha menyusun
sebuah uraian secara jelas dan meyakinkan tentang apakah arti dari mengetahui
itu sendiri sehingga dapat memahami hakikat suatu bentuk pemikiran atau pengetahuan. Demikian pula membuka
perspektif baru menemukan pengetahuan yang lebih luas serta menghilangkan sikap
skeptis atau keraguan awal dalam pencarian pengetahuan.
Secara
garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu
aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “ide”, “category”,
“form” sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran pancaindera
dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah, realism atau yang lebih populer dengan
sebutan empirism yang lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan,
penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di
sini peran akal dinomorduakan.Dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam
literatur Barat dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang
multi-dimensional, sedangkan kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam,
termasuk ilmu kalam, beringsut lebih tajam ke wilayah idealism dan rasionalism
dengan tidak peduli terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme.
Jadi secara gambaran
besarnya, epistemologi mempunyai dua alat untuk dapat menangkap pengetahuan
yaitu indra dan akal. Walaupun keduanya (dalam aliran diatas)seperti terjadi
kontradiksi dalam mempertahankan keyakinan aliran masing-masing, namun keduanya
adalah hal yang mesti ada dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu dan kita
selalu perlu keduanya itu.Dengan
demikian untuk mengetahui berbagai bentuk pemahaman terhadap agama, khususnya
adalah teologi, maka pelacakan dan penggunaan epistemologi tidak dapat
dipisahkan.
b.
Epistemologi Kalam
Membahas mengenai
kalam jika dikaitkan dengan Teologi tentu tidak terlepas dari Ilmu kalam itu
sendiri karena Teologi adalah sebagai mana yang diterangkan diawal bahwa
teologi bisa juga disebut dengan Ilmu kalam. Hal ini dikarenakan ada beberapa
persamaan dalam kajian yang dibahas oleh kedua istilah tersebut.
Kalam adalah
kata-kata. Kalau yang dimaksud kalam
ialah sabda Tuhan maka teologi dalam islam disebut ilmu kalam, karena soal
kalam, sabda Tuhan atau Al-Quran pernah menimbulkan pertentangan keras
dikalangan umat islam di abad ke sembilan dan ke sepuluh masehi, sehingga
timbul penganiyaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim diwaktu
itu.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam islam disebut
ilmu al-kalam, karena kaum teolog islam bersilat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.. teolog dalam islam memang
didebut dengan mutakalimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Perbincangan epistemologi dalam bahasan kali ini kami
sederhanakan menjadi
perbincangan tentang sumber, metode dan keabsahan suatu kebenaran ilmu kalam
dengan merujuk kepada fakta historis yang ada pada aliran-aliran kalam.
a.
Sumber Kebenaran.
Semua aliran dalam
pemikiran kalam berpegang kepada
wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah bersifat interpretasi mengenai teks
ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis. Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang
dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama.
Di antara para
teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi
interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan
demikian timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam,
yaitu Mu’tazilah. Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat
bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an, seandainyapun dianggap mampu resiko
kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun
justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran
itu hanyalah wahyu Tuhan itu.
Ada berbagai masalah yang sering ditemukan dalam model
pemikiran tersebut, yaitu bahwa dalam pemikiran kalam, teks yang dibaca itu sering terlepas dari tradisi,
konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang dibacakan itu. Padahal
tradisi jauh lebih kompleks dibanding penuturan sebuah teks
Dalam perspektif di atas, teks memainkan peran yang sangat besar bagi
terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antar manusia sendiri,
antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia yang konkret.
Masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran kalam adalah bahwa teks
(Alqur’an) yang diyakini
sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah
historis. Oleh karena itulah dalam memahami teks (Alquran), justru yang banyak
ditemukan adalah analogi konseptual antara the world of human
being danthe world of God dan tidak menggunakan analogihistoris-kontekstual, misalnya antara dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di zaman
serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun kita yakini bahwa teks
Alqur’an se akan-akan
sebagai “penjelmaan” dan “kehadiran” Tuhan, namun bagaimanapun juga begitu
memasuki wilayah sejarah, firman tadi terkena batasan-batasan kultural yang
berlaku pada dunia manusia.
Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebakan bahwa kitab suci ini
mempunyai eksistensi yang tetap dan diyakini secara penuh, yakni: pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun
temurun. Kedua, terdokumentasikan
dalam bentuk tulisan yang terjaga rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis. Ketiga, diperkuat lagi oleh tradisi dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan
ayat-ayat Alqur’an sebagai bacaan dan do’a-do’a.
Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada dalam ilmu
kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir kelompok
tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan paham dan
pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut teologi ini hanya
terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas disebut dalam ayat-ayat Alqur’an maupun hadis, yaitu
teks ayat Alqur’an dan hadis yang tidak bisa diinterpretasi lagi mempunyai arti
selain artiharfiyah. Sebaliknya
penganut teologi tradisional kurang mempunyai ruang gerak karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang bisa mengandung arti lain dari artiletterlek yang terkandung di dalamnya, dan ayat-ayat ini
mereka artikan secara harfiyah.
b.
Metode.
Bahasa merupakan aspek yang mendominasi tradisi pemikiran
kalam, terutama bila mereka (mutakallimin) yang ahli di bidang ini
ingin mengeluarkan sebuah produk hukum atau ajarannya. Dominasi kajian
bahasa dalam ilmu kalam di antaranya memang disebabkan oleh faktor historis, artinya kehadiran
para teolog pada awalnya adalah sebagai propogandis suatu aliran tertentu.
Berkaitan dengan belum tersedianya perangkat keras yang memadai sa’at itu, maka praktis retorika adalah
pilihan yang tepat. Di sisi lain para mutakallimin ini adalah para konseptor
dalam merumuskan konsep-konsep iman dan sekaligus menjadi pembelanya.
Salah satu bentuk konkret keterlibatan mereka dengan aturan penafsiran
teks adalah munculnya masalah takwildan i’jaz Alqur’an. Persoalan lafadz dan makna di kalangan
mutakallimin juga cukup mencolok dalam diskursus mereka mengenai
Alqur’an sebagai makhluk atau kalam Allah. Karena itulah di sini muncul persoalan apakah kalam itu
sendiri terdiri dari lafadz (huruf) dan ma’na atau kalamnafsi yang tidak terdiri dari lafadz dan ma’na.Dalam hal takwil misalnya,
intensitas kajian lafadzdan ma’na menjadi begitu tinggi karena takwil dalam pemikiran
Arab Islam hanya berlaku untuk wacana Alquran saja dan tidak lepas dari
aturan-aturan bahasa yang ketat. Karena bahasa yang ketat dalam pemaknaan
inilah menjadikan takwil mereka tetap berada dalam dataran dialektis belaka
(bayani).
Jadi dengan demikian takwil dalam pandangan ahli kalam (Mu’tazilah
misalnya) tidak lebih dari merujukkan ayat yang mutasyabihkepada yang muhkam.
Sesuai dengan dua kategori ayat ini, lalu mereka membagi teks syar’i menjadi dua kelompok, yakni: kelompok yang disebut manzum
al-khitab dan kelompok ma’qul
al-khitab, dan ini sudah barang tentu
menyangkut masalah lafadz dan makna. Mengenai hubungan antar keduanya dapat disimpulkan bahwa: pertama, lafadz bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti
dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, ke
dua, lafadz bisa menunjuk pada makna tapi
makna yang dimaksud adalah
makna yang lain, ke
tiga, lafadz hanya sekedar mengingatkan
pada makna yang sudah diperoleh akal.
Pada kondisi pertama, peran akal hanya sebagai alat memahami dan
menghimpun makna, pada kondisi kedua peran akal sebagai alat penjelas dan
penggali makna, dan pada kondisi ketiga, akal adalah alat takwil dan deduksi,
tapi yang jelas,dari keseluruhan hubungan lafadz dan makna di atas peran akal
tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i. Jika memang
demikian pola kerjanya maka dari sudut kajian lingguistik
kontemporer, dapat
dijelaskan bahwa pemikiran kalam dan pola pikir ‘aqidah lebih
menganut aliran monistik,[ dan bukannya menganut aliran dualistik maupun
pluralistik.
c. Validitas atau Keabsahan Kebenaran Dalam
Ilmu Kalam.
Berdasarkan objek pembahasan ilmu kalam, yakni eksistensi Tuhan dan
sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta serta
manusia, metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan
eksistensi Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya.. Penalaran
metode deduktif mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran
kebenaran dalam proses pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi
ini kebenaran satu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi
sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.
Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah
mutlak benar itu kemudian
diikuti dengan
prinsip-prinsip yang membuktikannya. Para ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan
dalam menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama.Ketika kaum
Mu’tazilah tertarik pada masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka
titik pangkal pemikiran mereaka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka
mengkaji masalah tersebut selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu
apakah kebebasan berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep
mengenai Tuhan Yang Maha Adil. Bagi kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan
oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil
mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat
berbuat buruk dan tidak
dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan
Tuhan, kaum As’ariyah justru menjunjung tinggi konsep
kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah mengenai hubungan perbuatan
manusia dalam
kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan digambarkan dengan istilah al-Kasb. Al-Kasb, demikian al-Asy’ari mengatakan, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muktasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan.
Dengan kata lain, yang mewujudkan al-kasb (perbuatan manusia) sebenarnya
adalah Tuhan sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada.
Hal ini didasarkan firman Tuhan, “Kamu tidak
menghendaki kecuali Tuhan menghendaki” (QS. 76: 30). Ayat ini di artikan oleh
al-Asy’ar bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu itu. Jadi dari konsep
kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.
Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang dikemukakan
oleh kedua aliran teologi di
atas nampaklah bahwa adanya penggunaan metode deduktif dalam kajian kalam, yaitu penurunan doktrin dari
yang bersifat umum ke doktrin yang bersifat khusus dengan konsekwensi bahwa teori koherensi sebagai
kriteria dalam mencapa kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai kriterium
kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam klasik bercorak
metafisik-spekulatif dan kurang mampu berdialog dengan realitas empiris kehidupan masyarakat yang terus
berubah. Corak bangunan epistemologi ilmu kalam yang demikian, yakni kriteria
kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin yang dibangun memerlukan adanya kritik historis.
Produk pemikiran kalam klasik sebagai respon terhadap fenomena
masyarakat yang muncul pada penggalan sejarah tertentu barangkali memang relevan dengan persoalan-persoalan pada masanya, tapi
akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena
empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan
epistemologi ilmu kalam klasik yang demikian.Pola logika pemikiran Kalam yang
bersifat deductive adalah mirip-mirip dengan pola berpikir Plato. Plato pernah
berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari idea, yaitu
ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide kebajikan dan
keadilan misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui lewat pengalaman
historis-empiris-induvtive tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh
manusia sejak sebelum lahir. Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide
bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.
Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa Plato tidak pernah menyetujui
pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia lewat
pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas
alam dan realitas sosial sekitar lewat pengamatan dan pengalaman indrawi. Pemikiran Islam pada
umumnya dan pemikiran kalam
pada khususnya juga bersifat deductive seperti itu. Hanya saat fungsi
ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti untuk tidak
mengatakan diislamkan oleh ayat-ayat Alquran dan teks-teks hadis. Bahkan sering kali
melebar sampai keijma’ dan
qiyas. Perhatian kepada perlunya dalil dan istidlal sebagai landasan pola pikir dan pola
bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah
menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berfikir yang justifikatif
terhadap tek-teks yang sudah tersedia.
C.
PENUTUP
Dalam tulisan ini, sudah barang tentu tidak ada maksud
menghapus jasa besar dari format ilmu kalam klasik yang sudah banyak memberikan
muatan spritualitas keagamaan
umat Islam, tapi kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika umat
Islam ingin mengetahui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam
realitas kehidupan Muslim dan menjadikan
agama sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi.
Perlunya pembenahan itu antara lain pada struktur epistemologi yang terkandung
di dalamnya, sumber, metodologi dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan
darinya. Untuk itu diperlukan pendekatan berbagai disiplin ilmu-ilmu yang lain, bahkan sikap dan pengalaman
agama lain untuk melihat
lebih dekat agama kita sendiri.
[1] Epistemologi berasal
dari bahasa yunani, episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang
berarti teori, didefinisikan sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal,
struktur, metode-metode dan keabsahan pengetahuan.(ledger Wood, “Epistemology”
dalam Dagobert D.Runes, h. 94)untuk selanjutnya lihat di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran
Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.
[2] Istilah
teologi berasal dari bahasa Yunani :
Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang
berarti Ilmu. Teologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang Tuhan serta hubungan
Tuhan dengan realitas duniawi. Lihat juga di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran
Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 111.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran , Sejarah,
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[5] Dikutip dari Jurnal
Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.
[6] Descartes pada saat
meneliti “pandagan Alam” nya, memeriksa keyakinanya terhadap agama serta
pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat, dan
berbagai ilmunya tiba-tiba ia terperosok
kedalam masalah epistemologi dan mengatakan “dengan dalil apa tatkala saya
menyatakan bahwa alam ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, dunia
ini ada, paris itu ada, agama al masih adalah demikian?”. Kemudian ia menuju
pada berbagi alat dan instrumen epistemologi, ia melihat semuanya masih dapat
diperdebatkan lagi. Ia bersandar pada indra dan rasio, namun dia menemukan
keduanya terdapat kelemahan. Kemudian ia merasakan kehilangan keyakinan dan
kepercayaan, dan mulai meragukan segalanya. Taatkala ia merasa tenggelam dalam
keraguan ia tiba-tiba disadarkan oleh pernyataannya sendiri sekalipun dia
meragukan segalanya akan tetapi dia tidak dapat merasa ragu bahwa dirinya
tengah merasa ragu.disinilah ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bahwa
“dia itu ada”karena dia yang tengah merasa ragu meyakini bahwa dia itu ada.
Sejak peristiwa ini descartes mulai menghembuskan epistemologi sebagai alat untuk
segala hakikat yang ada.(Murtadha Muthahari, mengenal epistemologi, Lentera
2001, hlm 27).
[7]
Op, cit hlm. 115
[8] Amin Abdullah. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Filsafat Islam, Irma Fatimah
(ed), (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 28.
[9]
Ibid., hlm. 35
[11] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran
, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[12] Komaruddin Hidayat. Memahami
Bahasa Agama , Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 23
[13] Ibid., hal. 9
[15] Harun Nasution. Teologi Islam,
Sejarah Analisa
Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1972), hal. 151.
[16] Abid al-Jabiry. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markas Dirasah al-Waddah
al-‘Arabiyah, 1990), hal. 15.
[17] Ada 3 (tiga) tiga yang berkaitan dengan
hubungan antara lafadz dan makna, yaitu: pertama, monisme yang
berpendapat bahwa makna dengan lafadz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan, Dengan kata lain tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat
dalam memahamai teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang
manunggal datu kesatuan. Kedua, aliran dualisme yang
mengatakan bahwa antara lafadz dan makna dapat dipisahkan. Dengan
kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri, meskipun ada
hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks. Ketiga: aliran
pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara lafadz dan makna sangat
kompleks. sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruk meta-fungsional
yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kmpleks.
Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk mempunyai
eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks.
(lihat Amin Abdullah. “Kajian Kalam……….”dalamal-Jami’ah, no. 65/vi/2000,
hal. 87).
[18] Vincent Brummer. Theology and Philosophical
Inquiry: An Introduction (London: The MacMillan Press Ltd.,
1981), hal. 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar