Minggu, 27 Mei 2012


EPISTEMOLOGI KALAM
disusun oleh Farid hermanto(260942009) 
jurusan aqidah filsafat
IAIN SURAKARTA
A.    PENDAHULUAN
Membahas mengenai teologi sudahlah tidak asing bagi kita, tetapi sebelum kita jauh melangkah menelesuri berbagai macam teologi disini kami akan membahas mengenai epistemologi dari kalam itu sendiri, meliputi pengertian epistemologi dan teologi, kerangka teori dari makalah ini, pembahasan dan penutup.
1.      PENGERTIAN
Epistemologi secara umum  adalah sebuah teori pengetahuan yang berurusan dengan hakikat, dasar dari segala sesuatu dan lingkup pengetahuan. Epistemologi tidak bisa dilepaskan dari penggunaan akal dan rasio dalam menjelaskan pokok-pokok bahasanya. Jika dikaitkan dengan ilmu-ilmu lainya, epistemologi sangatlah berhubungan erat apalagi jika dikaitkan dengan Teologi sudah tentu seperti syarat yang harus ada dalam tubuh Teologi itu sendiri. Epistemologi seolah berperan sentral sebagai alat penting bagi Teologi, karena epistemologi menggunakan akal dan rasio untuk mengungkap apa yang terdapat dalam Teologi.
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi (ilmu kalam bagi agam Islam) yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Seseorang yang telah mengetahui teologi dengan cara mempelajarinya secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kukuh dalam beragama.
Dalam kajian keislaman, Teologi sering disebut juga dengan Ilmu kalam. Disebut demikian karena sebenarnya kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian baik dari segi kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya(wujud,sifat dll) maupun dalam pertalian Tuhan dengan alam semesta (penciptaan alam, keadilan, kebijaksanaan, wahyu, pengutusan rasul dll). Untuk itu teologi sebagai salah satu obyek kajian perlu ditelaah dengan pendekatan epistemologi agar ilmu dan metode-metode yang terdapat didalamnya tidaklah mandeg dan dapat mengikuti perkembangan zaman.
2.      KERANGKA TEORI
Realism atau yang lebih populer dengan sebutan empirism adalah paham yang  lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus  sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.
Dalam pembuatan makalah ini kami menggunakan teori epistemologis empirisme, dimana sumber kebenaran itu dibuktikan melalui pengalaman, pengalaman disini kami tekankan pada fakta historis masa lalu. 
B.     PEMBAHASAN
a.      Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan sifat dasar, ruang lingkup, pernggapan-peranggapan dan dasr-dasar serta reabilitas umum pengetahuan.  Cikal bakal epistemologi sebetulnya telah diletakkan oleh Plato namun sebagai cabang filsafat, epistemologi mulai berkembang pesat setelah gema rasionalism dihembuskan oleh Descartes yakni pada abad ke- 17 dan 18 pada sa’at tradisi pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, tak lagi mengalami perkembangan yang berarti.
Obyek yang dikaji dalam epistemologi adalah pengetahuan untuk itu Epistemologi berusaha menyusun sebuah uraian secara jelas dan meyakinkan tentang apakah arti dari mengetahui itu sendiri sehingga dapat memahami hakikat suatu bentuk pemikiran  atau pengetahuan. Demikian pula membuka perspektif baru menemukan pengetahuan yang lebih luas serta menghilangkan sikap skeptis atau keraguan awal dalam pencarian pengetahuan.
 Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, adalah  idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “ide”, “category”, “form” sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di sini peran pancaindera dinomorduakan. Sedangkan aliran kedua adalah, realism atau yang lebih populer dengan sebutan empirism yang lebih menekankan peran indera (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus  sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Di sini peran akal dinomorduakan.Dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat membuka perspektif  baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, sedangkan kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, beringsut lebih tajam ke wilayah idealism dan rasionalism dengan tidak peduli terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme.
Jadi secara gambaran besarnya, epistemologi mempunyai dua alat untuk dapat menangkap pengetahuan yaitu indra dan akal. Walaupun keduanya (dalam aliran diatas)seperti terjadi kontradiksi dalam mempertahankan keyakinan aliran masing-masing, namun keduanya adalah hal yang mesti ada dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu dan kita selalu perlu keduanya itu.Dengan demikian untuk mengetahui berbagai bentuk pemahaman terhadap agama, khususnya adalah teologi, maka pelacakan dan penggunaan epistemologi tidak dapat dipisahkan.


b.      Epistemologi Kalam
Membahas mengenai kalam jika dikaitkan dengan Teologi tentu tidak terlepas dari Ilmu kalam itu sendiri karena Teologi adalah sebagai mana yang diterangkan diawal bahwa teologi bisa juga disebut dengan Ilmu  kalam. Hal ini dikarenakan ada beberapa persamaan dalam kajian yang dibahas oleh kedua istilah tersebut.
Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam islam disebut ilmu kalam, karena soal kalam, sabda Tuhan atau Al-Quran pernah menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat islam di abad ke sembilan dan ke sepuluh masehi, sehingga timbul penganiyaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim diwaktu itu.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam islam disebut ilmu al-kalam, karena kaum teolog islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.. teolog dalam islam memang didebut dengan mutakalimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Perbincangan epistemologi dalam bahasan kali ini kami sederhanakan  menjadi perbincangan tentang sumber, metode dan keabsahan suatu kebenaran ilmu kalam dengan merujuk kepada fakta historis yang ada pada aliran-aliran kalam. 
a.       Sumber Kebenaran.
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang  kepada wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah  bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alqur’an maupun Hadis. Perbedaan dalam interpretasi, seperti yang dikatakan itu, menimbulkan aliran-aliran yang tidak sama.
Di antara para teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks Alqur’an dan hadis nabi sehingga dengan demikian timbullah aliran teologi yang dipandang liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah. Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks Alqur’an,  seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar daripada kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan, namun semua sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu.
Ada berbagai masalah yang sering ditemukan dalam model pemikiran tersebut, yaitu bahwa dalam pemikiran kalam, teks  yang dibaca itu sering terlepas dari tradisi, konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang dibacakan itu. Padahal tradisi jauh lebih kompleks dibanding penuturan sebuah teks
Dalam perspektif di atas, teks memainkan peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia dan antar manusia sendiri, antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia yang  konkret. Masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran kalam adalah bahwa teks (Alqur’an)  yang diyakini sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah historis. Oleh karena itulah dalam memahami teks (Alquran), justru yang banyak ditemukan adalah analogi konseptual antara the world of human being danthe world of God dan tidak menggunakan analogihistoris-kontekstual, misalnya antara dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di zaman serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun kita yakini bahwa teks Alqur’an  se akan-akan sebagai “penjelmaan” dan “kehadiran” Tuhan, namun bagaimanapun juga begitu memasuki wilayah sejarah, firman tadi terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia.
Paling tidak, ada tiga faktor yang menyebakan bahwa kitab suci ini mempunyai eksistensi yang tetap dan  diyakini secara penuh, yakni: pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun temurun. Kedua, terdokumentasikan dalam bentuk tulisan yang terjaga rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis. Ketiga, diperkuat lagi oleh tradisi  dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat Alqur’an sebagai bacaan dan do’a-do’a.
Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada  dalam ilmu kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir kelompok tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan paham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas  disebut dalam ayat-ayat Alqur’an maupun hadis, yaitu teks ayat Alqur’an dan hadis yang tidak bisa diinterpretasi lagi mempunyai arti selain artiharfiyah. Sebaliknya penganut teologi tradisional kurang mempunyai ruang gerak  karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang  bisa mengandung arti lain dari artiletterlek yang terkandung di dalamnya, dan ayat-ayat ini mereka artikan secara harfiyah.
b.       Metode.
Bahasa  merupakan aspek yang mendominasi tradisi pemikiran kalam, terutama bila mereka (mutakallimin) yang ahli di bidang  ini ingin mengeluarkan sebuah produk hukum atau ajarannya. Dominasi kajian bahasa dalam ilmu kalam di antaranya memang  disebabkan oleh faktor historis, artinya kehadiran para teolog pada awalnya adalah sebagai propogandis suatu aliran tertentu. Berkaitan dengan belum tersedianya perangkat keras yang  memadai sa’at itu, maka praktis retorika adalah pilihan yang tepat. Di sisi lain para mutakallimin ini adalah para konseptor dalam merumuskan konsep-konsep iman dan sekaligus menjadi  pembelanya.
Salah satu bentuk konkret keterlibatan mereka dengan aturan penafsiran teks adalah munculnya masalah takwildan i’jaz Alqur’an. Persoalan lafadz dan makna di kalangan mutakallimin juga cukup mencolok dalam diskursus mereka mengenai Alqur’an sebagai makhluk atau kalam Allah. Karena itulah di  sini muncul persoalan apakah kalam itu sendiri terdiri dari lafadz (huruf) dan ma’na atau kalamnafsi yang tidak terdiri dari lafadz dan ma’na.Dalam hal takwil misalnya, intensitas kajian lafadzdan ma’na menjadi begitu tinggi karena takwil dalam pemikiran Arab Islam hanya berlaku untuk wacana Alquran saja dan tidak lepas dari aturan-aturan bahasa yang ketat. Karena bahasa yang ketat dalam pemaknaan inilah menjadikan takwil mereka tetap berada dalam dataran dialektis belaka (bayani).
Jadi dengan demikian takwil dalam pandangan ahli kalam (Mu’tazilah misalnya) tidak lebih dari merujukkan ayat yang mutasyabihkepada yang muhkam. Sesuai dengan dua kategori ayat ini, lalu mereka membagi teks syar’i menjadi  dua kelompok, yakni: kelompok yang disebut manzum al-khitab dan kelompok ma’qul al-khitab, dan ini sudah barang tentu menyangkut masalah lafadz dan makna. Mengenai hubungan antar keduanya  dapat disimpulkan bahwa: pertama, lafadz bisa dengan sendirinya menunjuk pada arti dalam kapasitasnya sebagai dalil dan argumentasi tidak perlu bantuan, ke dua, lafadz bisa menunjuk pada makna tapi makna yang dimaksud  adalah makna yang  lain, ke tiga, lafadz hanya sekedar mengingatkan pada makna yang sudah diperoleh akal.
Pada kondisi pertama, peran akal hanya sebagai alat memahami dan menghimpun makna, pada kondisi kedua peran akal sebagai alat penjelas dan penggali makna, dan pada kondisi ketiga, akal adalah alat takwil dan deduksi, tapi yang jelas,dari keseluruhan hubungan lafadz dan makna di atas peran akal tidak pernah mandiri tanpa dibayang-bayangi oleh teks syar’i. Jika memang demikian pola kerjanya maka dari sudut kajian  lingguistik kontemporer,  dapat dijelaskan bahwa pemikiran kalam  dan pola pikir ‘aqidah  lebih menganut aliran monistik,[ dan bukannya menganut aliran dualistik maupun pluralistik.
c.        Validitas atau Keabsahan Kebenaran Dalam Ilmu Kalam.
Berdasarkan objek pembahasan ilmu kalam, yakni eksistensi Tuhan dan sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta serta manusia, metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan eksistensi Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya.. Penalaran metode deduktif mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran kebenaran dalam proses pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi ini kebenaran satu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya.
 Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah mutlak benar itu  kemudian diikuti  dengan prinsip-prinsip yang membuktikannya.  Para ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan dalam menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama.Ketika kaum Mu’tazilah tertarik pada masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka titik pangkal pemikiran mereaka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka mengkaji masalah tersebut selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu apakah kebebasan berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Tuhan Yang Maha Adil. Bagi kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat berbuat buruk dan  tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan Tuhan, kaum As’ariyah justru menjunjung tinggi  konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah mengenai hubungan perbuatan manusia    dalam kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan digambarkan dengan istilah al-Kasb. Al-Kasb, demikian al-Asy’ari mengatakan, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat  (al-muktasib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
Dengan kata lain, yang mewujudkan al-kasb (perbuatan manusia) sebenarnya adalah Tuhan sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya niscaya ia tiada.
 Hal ini didasarkan firman Tuhan, “Kamu tidak menghendaki kecuali Tuhan menghendaki” (QS. 76: 30). Ayat ini di artikan oleh al-Asy’ar bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu itu. Jadi dari konsep kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.
Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang  dikemukakan oleh kedua aliran  teologi di atas nampaklah bahwa adanya penggunaan metode deduktif dalam kajian kalam, yaitu penurunan doktrin dari yang bersifat umum ke doktrin yang bersifat khusus  dengan konsekwensi bahwa teori koherensi  sebagai kriteria dalam mencapa kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai kriterium kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam klasik bercorak metafisik-spekulatif dan kurang mampu berdialog dengan  realitas empiris kehidupan masyarakat yang terus berubah. Corak bangunan epistemologi ilmu kalam yang demikian, yakni kriteria kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin  yang dibangun memerlukan adanya  kritik historis.
Produk pemikiran kalam klasik sebagai respon terhadap fenomena masyarakat  yang muncul pada penggalan  sejarah  tertentu barangkali memang relevan  dengan persoalan-persoalan pada masanya, tapi akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan epistemologi ilmu kalam klasik yang demikian.Pola logika pemikiran Kalam yang bersifat deductive adalah mirip-mirip dengan pola berpikir Plato. Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu  yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari idea, yaitu ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia  secara kodrati sejak awal mulanya. Ide kebajikan dan keadilan misalnya, menurut Plato, tidaklah diketahui lewat pengalaman historis-empiris-induvtive tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak sebelum lahir. Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide bawaan yang telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.  
Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia  lewat pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan realitas sosial sekitar lewat pengamatan  dan pengalaman indrawi. Pemikiran Islam pada umumnya  dan pemikiran kalam pada khususnya juga bersifat deductive seperti itu. Hanya saat fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti untuk tidak mengatakan diislamkan oleh ayat-ayat Alquran  dan teks-teks hadis. Bahkan sering kali melebar  sampai keijma’ dan qiyas. Perhatian kepada perlunya dalil dan istidlal   sebagai landasan pola pikir dan pola bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berfikir yang justifikatif terhadap tek-teks yang sudah tersedia.

C.    PENUTUP
Dalam tulisan ini,  sudah barang tentu tidak ada maksud menghapus jasa besar dari format ilmu kalam klasik yang sudah banyak memberikan muatan spritualitas  keagamaan umat Islam, tapi kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika umat Islam ingin mengetahui berbagai penyimpangan yang terjadi dalam realitas kehidupan Muslim dan  menjadikan agama sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Perlunya pembenahan itu antara lain pada struktur epistemologi yang terkandung di dalamnya, sumber, metodologi dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan darinya. Untuk itu diperlukan pendekatan berbagai disiplin  ilmu-ilmu yang  lain, bahkan sikap dan pengalaman agama lain  untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri.    



[1] Epistemologi berasal dari bahasa yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori, didefinisikan sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal, struktur, metode-metode dan keabsahan pengetahuan.(ledger Wood, “Epistemology” dalam Dagobert D.Runes, h. 94)untuk selanjutnya lihat di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.
[2] Istilah teologi berasal dari bahasa Yunani : Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti Ilmu. Teologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang Tuhan serta hubungan Tuhan dengan realitas duniawi. Lihat juga di Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 111.

[3] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran , Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[4]  Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, ( Yogyakarta : Kanisius, 1981), h: 16             
[5] Dikutip dari Jurnal Pembaruan dan Pemikiran Islam ALAMAH Vol. 5 Januari-Desember 2007 hlm. 112.

[6] Descartes pada saat meneliti “pandagan Alam” nya, memeriksa keyakinanya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat, dan berbagai ilmunya tiba-tiba  ia terperosok kedalam masalah epistemologi dan mengatakan “dengan dalil apa tatkala saya menyatakan bahwa alam ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, dunia ini ada, paris itu ada, agama al masih adalah demikian?”. Kemudian ia menuju pada berbagi alat dan instrumen epistemologi, ia melihat semuanya masih dapat diperdebatkan lagi. Ia bersandar pada indra dan rasio, namun dia menemukan keduanya terdapat kelemahan. Kemudian ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, dan mulai meragukan segalanya. Taatkala ia merasa tenggelam dalam keraguan ia tiba-tiba disadarkan oleh pernyataannya sendiri sekalipun dia meragukan segalanya akan tetapi dia tidak dapat merasa ragu bahwa dirinya tengah merasa ragu.disinilah ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bahwa “dia itu ada”karena dia yang tengah merasa ragu meyakini bahwa dia itu ada. Sejak peristiwa ini descartes mulai menghembuskan epistemologi sebagai alat untuk segala hakikat yang ada.(Murtadha Muthahari, mengenal epistemologi, Lentera 2001, hlm 27).
[7] Op, cit hlm. 115
[8]  Amin Abdullah. “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Filsafat Islam, Irma Fatimah (ed), (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 28.
[9] Ibid., hlm. 35
[10] Murtadha Muthahari. Mengenal Epistemologi, Jakarta : Lentera 2001, hlm 27).

[11] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran –Aliran , Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm ix.
[12] Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama , Sebuah Kajian Hermeneutik  (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 23
[13] Ibid., hal. 9
[14] Ibid., hal. 241
[15] Harun Nasution. Teologi Islam, Sejarah  Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1972), hal. 151.
[16] Abid al-Jabiry. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyah, 1990), hal. 15.
[17] Ada 3 (tiga) tiga yang berkaitan dengan hubungan antara lafadz dan makna, yaitu: pertama, monisme yang berpendapat bahwa makna dengan lafadz atau bentuk teks merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, Dengan kata lain tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahamai teks karena antara teks dan maknanya adalah sesuatu yang manunggal datu kesatuan.  Kedua, aliran dualisme yang mengatakan  bahwa antara lafadz dan makna dapat dipisahkan. Dengan kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri, meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah begitu kompleks. Ketiga:  aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara lafadz dan makna sangat kompleks. sebuah teks menurut aliran ini merupakan konstruk meta-fungsional yang terdiri dari makna ideasional, interpersonal dan tekstual yang kmpleks. Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna dan bentuk mempunyai eksistensi tersendiri, tapi hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks. (lihat Amin Abdullah. “Kajian Kalam……….”dalamal-Jami’ah, no. 65/vi/2000, hal. 87).
[18] Vincent Brummer. Theology and Philosophical Inquiry: An Introduction (London: The MacMillan Press Ltd., 1981), hal. 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar